Sabtu, 26 Maret 2011

Masalah Rumah Susun Belum Tuntas

RUU Rusun
Penulis: Natalia Ririh | Editor: Robert Adhi Kusumaputra
Jumat, 25 Maret 2011 | 15:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Panitia kerja (Panja) DPR RI yang membahas rancangan undang-undang rumah susun (RUU Rusun) tinggal menghitung hari untuk target selesai bulan April 2011.
Lantas, apakah kehadiran RUU Rusun menjadi angin segar bagi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah? Jawabannya belum. Masih banyak permasalahan tentang rumah susun menanti.

Anggota Panja RUU Rusun DPR RI, Yudi Widiana Adia mengatakan beberapa masalah rumah susun menanti, dan akan menuai persoalan di kemudian hari. “Setidaknya ada empat hal yang bersifat krusial yang bisa menjadi bom waktu persoalan Rusun yang berujung konflik seperti kerap terjadi saat ini,” kata Yudi lewat keterangan persnya di Jakarta, Jumat.

Keempat masalah tersebut, papar Yudi adalah perlindungan konsumen, kepastian hukum terhadap keterjangkauan dan akses bagi MBR, pemeliharaan dan peningkatan kualitas rusun, dan mekanisme kerja sama pemerintah pusat – pemerintah daerah - swasta.

“Pada banyak kasus perumahan, konsumen acapkali tertipu janji manis pengembang. Pengawasan ketat harus dilakukan sejak tahap pemasaran. Contohnya Malaysia, dimana pengembang wajib mendapatkan izin terlebih dahulu kepada pemerintah setempat. Ini memudahkan pemda mengecek kebenaran dan kepastian bangunan sesuai promosi pengembang,” katanya.

Masalah kedua mengenai jaminan akses kepemilikan Rusun bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Agar tepat sasaran, diperlukan penegasan mekanisme alokasi subsidi bagi MBR yang perlu diatur secara jelas di dalam RUU ini. Disamping itu juga perlunya kepastian hukum terhadap peruntukan rusun yang tidak tepat sasaran agar dapat diatur sesuai peruntukannya.

Masalah ketiga, terkait pemeliharaan dan peningkatan kualiatas rusun. RUU ini belum jelas mengatur mekanisme pemeliharaan terutama untuk peningkatan kualitas bangunan berserta fasilitasnya. Sehingga diperlukan aturan yang jelas mengenai batas maksimal berapa tahun bangunan tersebut harus direnovasi, dari mana dana tersebut diperoleh, siapa yang bertangung jawab, dan bagaimana prosedurnya semua harus diatur secara jelas agar nantinya tidak saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab antar pihak baik pengelola maupun pemerintah.

Masalah keempat adalah pembagian yang tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah termasuk masalah pembebasaan lahan. Aturan yang tegas dan jelas akan menghindarkan pusat dan daerah saling melempar tanggung jawab.

Menurut pengamat Perumahan dan Pemukiman Institut Teknologi Bandung, M Jehansyah Siregar, dari struktur isinya, RUU Rumah Susun ini lebih menggunakan pendekatan proyek konstruksi dalam pengadaan Rusunawa, dan tidak menjamin pengembangan sistem penyediaan perumahan, khususnya public housing delivery system.

Jehansyah mengatakan jangan sampai RUU Rusun ini mengulang-ulang kelemahan dari sistem yang lama. Baik DPR maupun Pemerintah hendaknya jangan membuat peraturan yang mengarahkan pembangunan perumahan rakyat pada mekanisme pasar dan kemudian membuat ketentuan yang justru tidak ramah pasar. “Akibatnya justru akan mengganggu usaha properti. Lebih jauh, target mengurangi backlog rumah dan permukiman kumuh tidak akan pernah tercapai,” katanya. (Natalia Ririh)

http://properti.kompas.com/read/2011/03/25/15435298/Masalah.Rumah.Susun.Belum.Tuntas

TUJUAN PERUMUSAN UU RUMAH SUSUN SEMAKIN TAK JELAS

SELECTED NEWS

Friday, 25 March 2011 20:32

Jakarta, 25/3/2011 (Kominfonewscenter) – Berbagai isu yang muncul dan tenggelam di dalam proses perumusan Undang-Undang Rumah Susun semakin menunjukkan ketidakjelasan tujuan perumusan Undang-Undang ini. Hal itu dikemukakan M. Jehansyah Siregar, Ph.D dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung), di Jakarta Jumat (25/3).

Jehansyah menambahkan isu kepemilikan apartemen oleh warga asing yang sempat hangat kini menghilang, masalah strata title seperti tak punya pegangan jelas ke UU Agraria. Isu Rusunawa yang terlantar tidak kunjung mendapat jaminan pola penanganan yang efektif. Pembebanan kewajiban pengembang swasta membangun rusun sederhana kini muncul lagi.

Menurut Jehansyah, narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat), dari struktur isinya tampak bahwa RUU Rumah Susun ini lebih menggunakan pendekatan proyek konstruksi dalam pengadaan Rusunawa.

Pasal-pasal RUU Rumah Susun ini lebih mengatur tipe-tipe bangunan, seperti rusun umum, rusun khusus, rusun komersial, dan sebagainya, hasilnya RUU ini tidak ubahnya seperti panduan proyek konstruksi perumahan.

”Sama sekali tidak menjamin pengembangan sistem penyediaan perumahan, khususnya public housing delivery system”, kata Jehansyah. Fakta banyaknya Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) yang mangkrak seharusnya dijadikan acuan untuk menata kembali sistem penyediaan rumah susun sederhana. ”Pengembangan sistem penyediaan inilah yang seharusnya diatur di dalam UU ini”, katanya menambahkan. Tanpa sistem penyediaan perumahan publik, pengadaan rusunawa oleh Pemda akan tetap mengalami kesulitan penyediaan tanah, misalnya.

Pada beberapa kasus akhirnya di atas tanah ukuran 3.500 m2 pun dipaksakan dibangun Rusunawa, karena tidak cukup terpaksa dibangun setengah twin-blok (48 unit). ”Pembangunan rumah susun berbasis proyek begini mengakibatkan kekacauan penataan ruang, prasarana dan fasilitas kota akibat konsentrasi yang menyebar (scattered)”, kata Jehansyah.

Demikian pula dengan pengaturan kewajiban pengembang swasta untuk menyediakan rumah susun sederhana sebesar 20 % tidak akan berjalan efektif. Pengaturan seperti ini sudah pernah diterapkan di DKI Jakarta, melalui SK Gubernur No. 540/1990 yang mewajibkan pengembang pemegang Surat Ijin Penunjukan Pemanfaatan Tanah (SIPPT) untuk membangun rumah susun sederhana sebesar 20 %. Namun pada prakteknya peraturan ini tidak berjalan efektif dan sebagian besar pengembang masih menunggak kewajibannya itu hingga hari ini. Kemudian melalui SK Gubernur No.1934/2002, peraturan ini dimodifikasi dimana kewajiban penyediaan rumah susun sederhana dikonversi dengan dana oleh para pengembang pemegang SIPPT.

Jehansyah menegaskan isu strata title,hendaknya jangan dicampur-aduk di dalam UU Rumah Susun ini. Ia mencontoh pengaturan sejenis di berbagai negara, pengaturan hak berstrata atau pertelaan ini sebaiknya diatur di dalam UU tersendiri yang dinamakan UU Pertelaan (Strata Title Law). Ini bukan pengaturan spesifik urusan perumahan rakyat, karena UU Pertelaan ini mengacu ke UU Agraria, dimana menyangkut pula pengaturan bentuk hak atas alas tanahnya. Selain mengatur pertelaan untuk apartemen selanjutnya UU Pertelaan akan mengatur pertelaan perkantoran maupun pertokoan.

Di berbagai negara tersebut, model pertelaan untuk apartemen dicontohkan terlebih dahulu di dalam sistem penyediaan perumahan publik yang dijalankan oleh Public Housing Corporation. Jehansyah mengemukakan hendaknya kita belajar dari HDB, BUMN perumahan di Singapura. Di dalam undang-undang perumahannya diatur secara jelas korporasi publik yang menjalankan public housing system. Pada pasal 3 disebutkan There is hereby established a body to be known as the Housing and Development Board which is a body corporate and has perpetual succession and may sue and be sued in its corporate name.

Pasal-pasal selanjutnya mengatur tujuan, fungsi, kewajiban dan kewenangan dari HDB, seperti kewenangan pengadaan tanah, membuat masterplan, membangun apartemen publik, menyewakan atau menjual, mengelola bangunan dan kawasan, bekerjasama dengan pihak swasta, membentuk kelompok penghuni, menetapkan harga sewa, menetapkan masa hak pakai, mengatur komposisi kepemilikan asing, membuat peraturan, dan sebagainya. Demikian pula HCA di Inggris, KNHC di Korea, maupun URA di Jepang, semuanya diatur secara tegas di dalam UU perumahannya.

Jehansyah mengatakan janganlah RUU Rusun ini mengulang-ulang kelemahan sistem yang lama, DPR dan Pemerintah hendaknya jangan membuat peraturan yang mengarahkan pembangunan perumahan rakyat pada mekanisme pasar dan kemudian membuat ketentuan yang justru tidak ramah pasar. Akibatnya justru akan mengganggu usaha property, lebih jauh, target mengurangi backlog rumah dan permukiman kumuh tidak akan pernah tercapai.

Bahkan pengaturan seperti ini justru membuka peluang-peluang korupsi dan kolusi, baik melalui pengelolaan proyek konstruksi rusunawa maupun penerbitan perijinan apartemen. Jehansyah menyatakan DPR dan Pemerintah perlu secara jelas mengarahkan RUU Rusun ini untuk mengatur sistem pengadaan perumahan publik. Ini bukan ide baru, karena sejalan dengan tujuan semula disusunnya UU ini tahun 1985. Untuk itu, dengan tujuan membangun sistem dan mengikuti contoh sukses perumahan publik di berbagai negara, agar RUU ini dinamai UU Perumahan Publik (Public Housing Law). (my)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=frontpage&Itemid=1

Kamis, 24 Maret 2011

RUU Rumah Susun Diminta Ditunda

Jakarta, Kompas - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun. RUU Rumah Susun dijadwalkan dituntaskan pada bulan April 2011 oleh Panitia Kerja DPR.

Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji di Jakarta, Kamis (24/3), mengemukakan, pihaknya meminta DPR dan pemerintah tidak terburu-buru menetapkan RUU Rumah Susun. Hal itu karena masih banyak substansi RUU yang belum tegas mengatur kepenghunian rumah susun.
Substansi RUU yang belum tegas itu, di antaranya, soal Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Rumah susun yang dihuni ratusan hingga ribuan orang berpotensi menghadapi banyak sengketa dan masalah kepenghunian.

Keberadaan PPRS penting untuk memediasi penyelesaian konflik di antara pengembang, pengelola, dan penghuni. ”Faktanya, begitu banyak persoalan dalam kepenghunian rumah susun. Diperlukan ketegasan aturan agar PPRS menjadi organisasi independen yang dibentuk penghuni,” ujarnya.

Peneliti Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, menilai, RUU Rumah Susun masih belum tegas menyelesaikan masalah kekurangan perumahan.
”RUU Rumah Susun sebaiknya ditunda karena belum jelas apa yang mau diatur,” ujar Jehansyah.

RUU Rumah Susun terkesan hanya sekadar panduan dari proyek-proyek produksi rumah susun sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat menengah bawah. Muncul kesan, pemerintah cenderung menyerahkan pembangunan rumah susun kepada mekanisme pasar. ”Upaya menyelesaikan kekurangan rumah tidak cukup dengan menyerahkan pengembang swasta untuk membangun,” ujarnya.
Dalam RUU Rumah Susun diatur mengenai kompensasi bagi pengembang rumah susun komersial untuk membangun rumah susun bagi masyarakat menengah bawah konsep serupa itu sebelumnya pernah diberlakukan di DKI Jakarta, tetapi ternyata tidak bisa berjalan efektif.

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 mewajibkan pengembang apartemen menengah dan mewah melakukan kompensasi dengan membangun rumah susun sederhana. Hal itu sebagai kompensasi dari diterbitkannya surat izin penunjukan pemanfaatan tanah. Dalam praktiknya, terjadi tunggakan pembangunan hunian berimbang dari pengembang sampai senilai Rp 170 miliar dan pemerintah tidak bisa memaksa pengembang. (LKT)

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/03313464/ruu.rumah.susun.diminta.ditunda