Senin, 19 September 2011

Tarik Ulur Badan Pelaksana Rumah Susun




Oleh Eko Adityo Nugroho
.
JAKARTA - Rencana pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun yang tengah dibahas di dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) memicu polemik hingga berakibat pengesahanaturan tersebut makin panjang. Namun begitu, pembahasan pembentukan badan ini diharapkan dapat memberikan hasil yangmemudahkan masyarakat memperoleh tempat tinggal layak.
Sejumlah pihak mengklaim badan tersebut sangat dibutuhkan guna mendorong pembangunan tempat tinggal bagi masyarakat, khusus hunian vertikal. Tantangan besar dan berat yang mengadang dalam proses penyediaan perumahan di masa mendatang menjadi penggerak badan ini segera dibuat Belum lagi, tanggung jawab badan ini tidak lagi kepada kementerian/lembaga, melainkan kepada presiden langsung.
Pihak-pihak yang mendukung gagasan ini berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, ada pula dari kalangan penghuni rumah susun yang tergabung dalam Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi). Pihak-pihak ini secara tegas berupaya mengegolkan pembentukan badan pelaksana rumah susun dapat diakui di dalam RUU Rusun.
Sebelumnya, di dalam Undang-Undang No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) telah disetujui untuk membentuk badan baru atau menunjuk badan yang sudah ada untuk bertanggung jawab dalam penyediaan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sepertinya, pihak-pihak yang menyetujui pembentukan badan pengelola rumah susun ini berupaya lembaga ini bisa masuk dalam RUU Rusun sebagaimana badan baru di UU PKP.
Empat Faktor
Namun begitu, hal itu dibantah oleh Ketua Umum Aperssi Ibnu Tadji. Menurut dia, badan yang akan dibentuk ini bukan mengekor dari pembentukan badan yang ada di dalam UU PKP. Pembentukan badan pelaksana rumah susun sejatinya untuk menjawab tantangan perumahan di masa mendatang yang makin berat terutama dalam ketersediaan lahan perumahan.
"Untuk mengantisipasi tantangan yang besar di kemudian hari, kita perlu berpikir jernih dan menyiapkan cara pandang yang jauh ke depan atau berpikiran visioner. Karena besarnya tantangan yang mesti dihadapi, badan ini harus berada di bawah presiden langsung," ungkap dia kepada Investor Daily di Jakarta, baru-baru ini.
Untuk itu, dia meminta agarpemerintah bisa memikirkan empat faktor yang perlu dikaji mendalam mengenai permasalahan penyediaan perumahan di masa mendatang. Pertama, ketersediaan lahan perumahan lambat laun akan makin -menipis, sementara permintaan terhadap tempat tinggal diperkirakan makin meningkat
Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah permintaan tempat tinggal sudah mendekati 14 juta unit rumah. Sedangkan kemampuan membangun rumah hanya sekitar 400.000-500.000 unit rumah per tahun. "Ke depan, dengan tantangan yang makin besar dan berat, tidak mungkin bisa diatasi dengan sumber daya yang ada sekarang," Imbuhnya.
Kedua, lanjut Ibnu, pengelolaan pembangunan rumah susun sekarang ini juga masih amburadul, baik dari sisi perizinan yang berbelit, proses panjang, ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas, (PSU), seperti air bersih dan listrik yang tak memadai, hingga adanya pungutan liar. Begitu proses pembangunan selesai dilakukan pun, masih terdapat pengelolaan yang tak beres, seperti dominannya peran pengembang di dalam pengurus penghuni rumah susun (PPRS). "Karena itu, manajemen pembangunan rumah susun mesti diperbaiki total dan itu tidak bisa dilakukan pemerintah karena akan ada kepentingan yang bermain di situ," paparnya.
Pemerintah juga perlu mengkaji kemampuan dalam teknologi pembangunan rumah susun yang diterapkan saat ini. Teknologi yang dimaksud berupa daya membangun yang ada saat ini, sehingga mendorong produksi hunian yang relatif cepat
"Keempat dibutuhkan likuiditas pembiayaan pembangunan hunian vertikal yang tidak sedikit Selama ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran ini. Ke depan perlu ada alokasi dana untuk itu dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Presiden bisa melakukan itu karena badan ini berada langsung di bawahnya," jelas Ibnu.
Sementara itu. Ketua Panitia Kerja RUU Rusun DPR RI Mulyadi mengungkapkan, badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar terhadap masalah rumah susun nasional. Badan ini dapat bertindak sebagai pelaksana pembangunan,pemeliharaan, dan pengelolaan rumah susun umum, yang meliputi rumah sejahtera susun dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang bersubsidi.
Dia menambahkan, pembentukan badan pelaksana rumah susun akan berdampak pada proses pembangunan rumah susun menjadi satu-kesatuan dan fokus, tidak lagi terpisah pada beberapa kementerian. Selama ini pembangunan rumah susun dilakukan oleh Kementerian Perumahan Rakyat yang membangun rusunawa untuk mahasiswa, prajurit TNI dan Polri, serta pesantren. Adapun Kementerian PU membangun rusun untuk mengatasi kekumuhan di kota-kota besar.
Proses pembangunan rumah susun tersebut menjadi salah sasaran lantaran bukan menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
Badan ini juga memiliki kewenangan bernegosiasi dengan pemerintah daerah terkait alokasi lahan rumah susun serta subsidi pemeliharaan hunian. "Dengan demikian, persoalan rumah susun yang lokasinya tidak strategis, belum dialiri listrik, air bersih, dan kekumuhan diharapkan tidak terulang," kata Mulyadi.
.
Tumpang Tindih
.
Kendati terlihat peran badan khusus ini cukup baik, ada pula beberapa pihak yang justru menentang dibentuknya badan pelaksana rumah susun ini. Mereka adalah Kementerian Perumahan Rakyat, Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP RED. Perum Perumnas, dan kalangan pemerhati masalah perumahan.
.
Mereka beranggapan pembentukan lembaga ini mubazir karena selama ini penyediaan tempat tinggal, khususnya hunian vertikal, telah dibangun oleh para pengembang swasta dan Perum Perumnas. Bahkan, pemerintah turut andil menyediakan rumah susun melalui program rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Ketua Tim Perumus RUU Rusun dari sisi pemerintah Sri Hartoyo mengungkapkan, pembentukan badan pelaksana rumah susun dianggap tidak perlu karena pada prinsipnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda). Pemerintah pusat hanya akan memberikan pembinaan, memfasilitasi, dan menstimulasiagar tanggung jawab pemda dapat berjalan dengan baik. "Hal ini juga selaras dengan prinsip pembangunan nasional yang mengedepankan sistem otonomi daerah," jelas Sri.
.
Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso mengungkapkan, peran badan khusus ini belumlah jelas, apakah akan bekerja di sektor hulu atau hilir perumahan. Apabila bekerja di sektor hulu, badan ini tentu akan bersinggungan dengan pengembang swasta, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), pemerintah, dan juga Perum Perumnas. Sedangkan di sektor hulu bersinggungan dengan PPRS. "Namun, agar lebih efektif kenapa tidak diatur saja untuk berperan seperti selama ini. Itu akan lebihbaik," ujar dia.
.
Peran badan baru yang dinilai bersinggungan dengan pemangku kepentingan lain juga diakui oleh pengamat perumahan dan tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar. Dia mengatakan pembentukan badan tersebut berpotensi memunculkan persaingan tidak sehat Peran badan khusus ini juga dinilai akan tumpang tindih dengan apa yang dilakukan oleh Perumnas selama ini. "Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation," terang dia.
Sebagai lembaga yang mengelola aset publik, lanjutnya, keduanya harus mencari untung dalam aspek tertentu dan secara umummemberikan pelayanan publik yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan konsep kebijakan perumahan yang jelas.
.
Mulyadi menegaskan, peran dan fungsi lembaga baru itu tidak akan tumpang-tindih dengan Perum Perumnas karena tidak mencari keuntungan, sedangkan Perumnas berbentuk perusahaan umum yang masih mencari laba. "Kalau mau, Perum Perumnas melebur saja ke dalam badan ini," ujar dia.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tersebut, seyogianya keberpihakan dari pihak-pihak terkait terhadap masyarakat kecil patut diutamakan. Mencampuradukkan kepentingan golongan demi tercapainya kesuksesan semu justru akan menjauhkan kepentingan masyarakat mendapatkan tempat tinggal.

http://bataviase.co.id/node/803993

Kamis, 08 September 2011

REI klaim 15 tahun suarakan regulasi kepemilikan properti warga asing

REI klaim 15 tahun suarakan regulasi kepemilikan properti warga asing

Oleh JIBI on 7 September , 2011

JAKARTA (bisnis-jabar.com): Real Estate Indonesia (REI) mengaku telah 15 tahun memperjuangkan pengaturan kepemilikan properti bagi warga negara asing di Indonesia menyusul kepentingan bisnis dan nasionalisme.
.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Setyo Maharso mengatakan kepentingan bisnis yang dimaksud yakni dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kepemilikan asing di properti yang cukup besar.
.
Selain itu, lanjut dia, kepentingan nasionalisme menyusul banyaknya penyelundupan hukum pada kepemilikan properti di mana warga asing tersebut menggunakan nama warga negara Indonesia pada saat membeli properti.
.
“Misalnya di Bali banyak penyelundupan-penyelundupan hukum yakni pura-pura membeli atas nama WNI dengan menikahinya sehingga Indonesia tidak mendapatkan retribusi dan pajak dari pembelian properti tersebut,” kata Setyo, beberapa waktu lalu.
.
Menurut Setyo Indonesia jangan terdikotomi oleh adanya istilah terdikotomi menjual tanah air dengan memperpanjang jangka waktu kepemilikan asing di properti. Dia mencontohkan Singapura, negara yang memiliki luas lahan sempit berani membuka kepemilikan asing di propertinya dimana 60% pembelinya berasal dari Indonesia.
.
Setyo menjelaskan dana hasil penjualan properti ke warga asing juga dapat digunakan sebagai subsidi silang untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dia menambahkan kebijakan kepemilikan properti bagi warga asing tersebut disarankan hanya di beberapa kota besar untuk melindungi daerah lain dari serbuan warga di luar Indonesia.
.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan masalah kepemilikan asing di properti yang sebenarnya adalah diperlukannya pembentukan kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI dan WNA.
.
“Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap. Menurut kami yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai. Sebelumnya hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang, pada saat perpanjangan inilah yang prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu,” tutur Jehansyah, beberapa waktu lalu.
.
Jehansyah menuturkan dari situlah pentingnya perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata dan mengurusi perpanjangan hak pakai.
.
Dia menjelaskan di negara maju, peran ini awalnya dijalankan perusahaan perumahan negara yang mengelola public housing. Kemudian secara bertahap, perusahaan perumahan nasional ini memberdayakan unit yang sama di daerah. (fsi)
.
http://bisnis-jabar.com/index.php/2011/09/rei-klaim-15-tahun-suarakan-regulasi-kepemilikan-properti-warga-asing/