Selasa, 13 Desember 2011

Pemerintah Siapkan Sanksi bagi Penjual Rusunami di Atas Batasan Harga

BY ANNISA MARGRIT

Property

Monday, 12 12 2011

JAKARTA (IFT) – Pemerintah sedang menyusun Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Per­menpera) yang mengatur me­ngenai sanksi terhadap pihak yang menjual rumah susun sederhana  milik (rusunami) di atas batasan harga jual Rp 144 juta. Saat ini, ada beberapa kasus pemilik rusunami menjual kembali unitnya dengan harga men­capai Rp 250 juta per unit.
Muhammad Dimjati, Asisten Deputi Perencanaan Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat, mengatakan rusunami diperuntukkan bagi mereka yang belum memiliki rumah pribadi atau pemilik pertama (end user), karena itu tidak diperbolehkan untuk mengalihkan kepemilikan dalam jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Pasal 54 ayat 2.
Menurut Dimjati, jika pembeli pertama rusunami menjual unit­nya maka pembelian dianggap batal. “Saat ini sanksinya sedang dikaji. Program rusunami sendiri sudah berlangsung beberapa la­ma, maka kemungkinan unit­nya sudah berpindah tangan be­berapa kali,” ujarnya.
Karena kepemilikan sudah ber­pindah tangan beberapa kali, maka kata Dimjati, akan sulit menerapkan sanksi yang berlaku surut. Pemerintah akan menerapkan sanksi ini pa­da unit rusunami baru yang dipasarkan pengembang.  “Peraturan ini kami targetkan selesai tahun depan,” jelasnya.
Selain peraturan menteri mengenai sanksi terhadap pen­jualan unit rusunami di atas harga Rp 144 juta, pemerintah juga tengah menyusun peraturan menteri yang mengatur hunian ber­imbang. Peraturan ini me­rupakan turunan dari Undang-Undang tentang Rumah Susun.
Iskandar Saleh, Sekretaris Ke­menterian Perumahan Rakyat, mengatakan Permenpera itu akan mengatur mengenai ketentuan kewajiban pembangunan 20% ru­mah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan ke­tentuan 1:3:6. “Intinya, Permen­pera itu mengatur pembangunan rumah kelas atas, menengah, dan bawah di satu hamparan kawasan. Nantinya akan diatur berapa porsi pembangunannya,” ujarnya.
Menurut Iskandar, kemen­terian akan memberikan insentif berupa bantuan infrastruktur pa­da para pengembang yang membangun hunian berimbang di satu hamparan kawasan. Dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang tentang Rumah Susun disebutkan pelaku pembangunan ru­mah susun komersial wajib menyediakan rumah susun um­um sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.  Pengembang yang tidak mem­bangun sesuai ketentuan tersebut bisa dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 20 miliar rupiah.
Selain dua Permenpera ter­sebut, kementerian juga sedang menyusun empat peraturan pemerintah. Keempat peraturan tersebut mengatur tentang pem­binaan perumahan dan kawasan permukiman, penyelenggaraan perumahan dan kawasan per­mukiman, pendanaan dan pem­biayaan perumahan, dan pe­rumahan swadaya.  Sementara, peraturan pemerintah tentang rumah negara disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Kelima peraturan pemerintah ini dijadwalkan rampung pada Januari 2012, setelah mundur dari target semula. Peraturan-peraturan ini semula ditargetkan selesai pada akhir tahun ini.
.
Jehansyah Siregar, pengamat perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung mengatakan kalau dievaluasi se­cara umum, program pem­bangunan rusunami sebelumnya me­ngalami banyak kendala.
.
Pertama, banyak kelompok sa­saran yang tidak menikmati program rumah murah di tengah kota itu. Banyak pemilik bukan end-user dari kalangan menengah bawah, melainkan para spekulan atau investor yang kemudian me­nyewakan unit tersebut.
.
“Kegagalan kedua, pemba­ngun­an rusunami yang dimotori developer swasta cenderung me­milih lokasi berdasarkan tanah yang mereka miliki. Akhirnya menemui banyak kendala dari perizinan, hingga penjualan,” ka­ta Jehansyah.(*)




http://www.indonesiafinancetoday.com/read/19360/Pemerintah-Siapkan-Sanksi-bagi-Penjual-Rusunami-Di-Atas-Batasan-Harga

Jumat, 18 November 2011

Menaikkan Harga Rusunami Hanya Asal-asalan

Pendapatan Jadi Pertimbangan

(Bisnis Indonesia, Jumat-18 Nopember 2011)
JAKARTA: Rencana pemerintah menaikkan harga patokan rumah susun sederhana milik (rusunami) bersubsidi dinilai sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya tanpa mengevaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan pertimbangan pemerintah menaikkan harga rusunami hanya untuk menyesuaikan kenaikan inflasi, harga bahan bangunan, dan untuk mendorong partisipasi pengembang. Jelas itu bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum, tutur Jehansyah. Menurutnya, perumahan rakyat itu tidak sama dengan bisnis properti. Artinya, bisa saja bisnis properti maju berkembang, tetapi pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka jumlah kekurangan rumah (housing backlog) makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz memperkirakan penaikan harga rusunami bisa mencapai 20% dengan asumsi laju inflasi 5% selama 4 tahun terakhir.
Jehansyah memaparkan banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat. Pertama, banyak pemilik rusunami bukan pemakai langsung (end user) dari kalangan menengah bawah, tetapi spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian disewakan.
Kedua, pembangunan rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja.
Akhirnya menemui banyak sekali kendala perizinan lokasi, yang artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya yang mengakibatkan tata ruang kota semakin berantakan.
Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan koefisien lantai bangunan (KLB), proporsi rusunami bersubsidi dan nonsubsidi tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas. Pada dasarnya, kendala dan kegagalan rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan yakni sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system), paparnya.
Kelompok sasaranSementara itu, Kementerian Perumahan Rakyat akan mengkaji rencana kenaikan rusunami dengan mempertimbangkan peningkatan pendapatan masyarakat kelompok sasaran.
Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo mengatakan kenaikan harga rusunami tidak hanya didasarkan pada nilai inflasi, tetapi juga besarnya peningkatan pendapatan masyarakat. Kenaikan harga rusunami belum tentu mencapai 20%, kami akan menghitung juga berapa besaran pendapatan masyarakat kelompok sasaran berdasarkan data BPS, ujarmya. Selain itu, bila berdasarkan kajian dari Kemenpera harga rusunami yang ditawarkan melebihi daya beli masyarakat, instansinya akan memberikan berbagai insentif berupa utilitas, sarana, dan prasarana umum rusunami bagi masyarakat. (Dewi Andriani & Siti Nuraisyah Dewi)

Harga Rusunami Naik, Angka Backlog Membengkak

18-11-2011

(Media Indonesia, Jumat-18 Nopember 2011)
PENAIKAN harga rumah susun sederhana milik (rusunami) akan memicu pembengkakan angka kekurangan (backlog) rumah. Karena itu, pemerintah diminta mengevaluasi kembali rencana menaikkan harga rumah susun milik untuk masyarakat perkotaan kelas menengah ke bawah tersebut. Hal itu dikatakan pengamat perumahan dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar dalam menanggapi rencana Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz yang akan mengerek harga rusunami hingga maksimal 20%.
.
Pertimbangan di belakang penaikan harga rusunami yang sekadar untuk menyesuaikan kenaikan inflasi dan harga bahan bangunan serta untuk mendorong partisipasi pengembang, jelas bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Menurut Jehansyah, penaikan harga rusunami semata-mata demi kepentingan pengembang. Padahal, urusan perumahan rakyat bisnis properti berkembang, namun pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi. Angka housing backlog makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
.
Berdasarkan data Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), angka backlog saat ini sudah mencapai 13,6 juta unit rumah. Melihat angka itu, Jehansyah menilai rencana Kemenpera menaikkan harga rusunami merupakan kebijakan yang dibuat sekenanya. Langkah ini dilakukan tanpa mengevaluasi terlebih dahulu apakah pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum.
Kepala Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan Kemenpera Margustieny Oemar Ali mengatakan karyawan swasta, pegawai negeri sipil, maupun anggota TNI/Polri yang ingin membeli rumah tidak perlu lagi memusingkan uang muka. Kami bekerja sama dengan pihak asuransi sehingga uang muka KPR sebesar 10% ditanggung pihak asuransi, paparnya. (NG/Vni/E-3)

http://reidkijakarta.com/rei/web/?mod=news&do=detail&cat=1&id=650

Kamis, 17 November 2011

Kewajiban Pengembang Bangun Rumah Susun Kurang Efektif

Property

Friday, 18 11 2011
.
BY ANNISA MARGRIT
.
JAKARTA (IFT) – Kewajiban bagi pengembang swasta yang membangun apartemen menengah atas untuk membangun rumah susun sederhana sebesar 20% dari total unit apartemen yang dibangun diperkirakan kurang efektif untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan berpotensi mem­buka peluang korupsi, kata pengamat.
.
Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Tek­nologi Bandung meminta pengembang membangun rumah susun sederhana terlebih dulu se­belum izin pembangunan apartemen menengah atasnya diberikan.  “Pemerintah seharusnya meminta pengembang membangun rumah susunnya dulu, baru kemudian izin lokasi dan pembangunan diberikan,” tegasnya di Jakarta, Kamis.
.
Dia menambahkan kendala pengadaan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan ren­dah adalah karena pemerintah pusat tidak bisa memisahkan kepentingan publik dengan kepentingan bisnis pengembang swasta. Masalah rumah susun, kata Jehansyah, tidak bisa di­selesaikan kalau pemerintah terus memandang keuntungan yang bisa didapat dari penjualan rumah susun. “Padahal, rumah susun murah yang layak huni merupakan kebutuhan publik,” terangnya.
.
Kementerian Perumahan Rak­yat mencatat backlog atau angka kekurangan rumah di DKI Jakarta pada 2011 mencapai 289.318 unit. Backlog didorong kurangnya ke­tersediaan lahan dan tidak efektifnya regulasi yang mengatur penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Solusi untuk mengurangi backlog di Jakarta adalah pembangunan hunian vertikal, seperti rumah susun,” katanya. Iwan Kurniawan, Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan ada dua kebijakan jangka panjang yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah terkait perumahan dan permukiman di Jakarta.
.
Dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta 2011 hingga 2030, pemerintah daerah akan mengembangkan Jakarta melalui pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak, serta mengarahkan perkembangan kawasan perumahan sesuai dengan karakteristik kawasan. Dengan kata lain, ujar Iwan, ke depannya pemerintah daerah akan mendorong pembangunan kawasan mixed-use dan perumahan vertikal.(*)
.
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/18182/Kewajiban-Pengembang-Bangun-Rumah-Susun-Kurang-Efektif

Rencana kenaikan harga rusunami menuai kritik

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Kamis, 17 November 2011 | 14:01 WIB

JAKARTA: Rencana pemerintah melalui Kementrian Perumahan Rakyat untuk menaikkan harga patokan rumah susun sejahtera milik (rusunami) bersubsidi dinilai sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya tanpa mengevaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya.

Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan pertimbangan pemerintah hanya untuk menyesuaikan kenaikan inflasi, harga bahan bangunan, dan untuk mendorong partisipasi pengembang.

“Jelas itu bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum,” tutur Jehansyah melaui surat elektronik yang diterima Bisnis, hari ini.

Menurut Jehansyah perumahan rakyat itu tidak sama dengan bisnis properti. Artinya, bisa saja bisnis properti maju berkembang, tetapi pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka housing backlog (jumlah kekurangan rumah) makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.

 Jehansyah memaparkan banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat. Pertama, banyak pemilik rusunami bukan end user dari kalangan menengah bawah, tetapi spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian disewakan.

Kedua, pembangunan rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja. Akhirnya menemui banyak sekali kendala perijinan lokasi, yang artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya yang mengakibatkan tata ruang kota semakin berantakan.

Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan koefisien lantai bangunan (KLB), proporsi rusunami bersubsidi dan nonsubsidi tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas.

“Pada dasarnya, kendala dan kegagalan Rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan yakni sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system),” paparnya.

Jehansyah menjelaskan pemerintah cenderung mau enak saja mengutak-atik harga patokan dan membuat berbagai ketentuan yang tidak akan pernah efektif dalam penerapannya. Menurutnya memang kerja seperti ini banyak komisi atau rentenya, tetapi tentu bukan itu yang diinginkan rakyat.

Pengembang, sambungnya, tidak sepatutnya disalahkan karena tujuan mereka memang mencari keuntungan. “Yang salah adalah ketika pemerintah meminta swasta menjalankan peran sektor publik yang seharusnya dijalankannya. Kesalahan mendudukkan peran ini mengakibatkan program perumahan tidak akan pernah efektif mencapai tujuan merumahkan rakyat dan hanya memfasilitasi bisnis properti saja,” ungkapnya.

Dia menambahkan subsidi yang diberikan pemerintah hanya merampas peluang pemasukan keuangan negara karena akhirnya hilang masuk ke pusaran pasar properti. (faa)
http://www.bisnis.com/articles/rencana-kenaikan-harga-rusunami-menuai-kritik

------------------------------------------------------------


RENCANA KENAIKAN HARGA RUSUNAMI HANYA UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANG

Wednesday, 16 November 2011 09:44
Jakarta, 16/11/2011 (Kominfonewscenter) – Rencana pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menaikkan harga patokan rumah susun sederhana milik (Rusunami) bersubsidi sungguh-sungguh sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya.

“Langkah ini dilakukan tanpa mengevaluasi lebih dahulu apakah pola pengadaan Rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum”, kata Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D Housing and Settlements Research Group, ITB Selasa (15/11).
Jehansyah mengatakan pertimbangan di belakangnya sekedar untuk menyesuaikan kenaikan inflasi dan harga bahan bangunan serta untuk mendorong partisipasi pengembang, jelas bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat.
”Ini semata demi kepentingan pengembang dan bisnis properti belaka”, kata Jehansyah.
Padahal urusan perumahan rakyat itu tidak persis sebangun dengan bisnis properti, artinya bisa saja bisnis properti maju berkembang, namun pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka housing backlog makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
Menurut Jehansyah bila dievaluasi secara umum, hasil pembangunan Rusunami periode sebelumnya menemui banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat.
Pertama, banyak kelompok sasaran yang tidak mengena secara efektif. Banyak pemilik Rusunami bukan end-user dari kalangan menengah bawah, melainkan para spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian menyewa-nyewakannya, akibatnya banyak keluarga muda kelas menengah bawah yang tetap terlantar.
Kedua, pembangunan Rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja, akhirnya menemui banyak sekali kendala perijinan lokasi, artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya, dan akibatnya tata ruang kota semakin berantakan.
Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan KLB, proporsi rusunami bersubsidi dan non-subsidi, dan sebagainya, tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas karena memang aset tersebut miliknya.
“Kegagalan dan berbagai kendala mekanisme pengadaan Rusunami inilah yang seharusnya dievaluasi. Bukan seolah-olah tidak ada masalah dan sekenanya saja ingin menetapkan harga patokan harus dinaikkan”, kata Jehansyah.
Jehansyah menambahkan pada dasarnya kendala dan kegagalan Rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan, dalam hal ini adalah sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system).
Pemerintah cenderung mau enak saja mengutak-atik harga patokan dan membuat berbagai ketentuan yang tidak akan pernah efektif dalam penerapannya.
Memang kerja seperti ini banyak komisi atau rentenya, namun tentu bukan itu yang diinginkan rakyat.
“Kita tidak sepatutnya pula menyalahkan pengembang, karena dapat dipahami tujuan mereka memang mencari untung”, kata Jehansyah, seraya menambahkan yang salah adalah ketika pemerintah meminta swasta menjalankan peran sektor publik yang seharusnya dijalankannya.
Kesalahan mendudukkan peran ini mengakibatkan program perumahan tidak akan pernah efektif mencapai tujuan merumahkan rakyat dan hanya memfasilitasi bisnis properti saja.
Sedangkan berbagai subsidi PPn, BPHTB, prasarana, dan sebagainya yang telah diberikan berarti hanya merampas peluang pemasukan keuangan Negara, karena akhirnya hilang raib masuk ke pusaran pasar properti, tak berbekas ibarat menabur garam di laut.
Untuk itu, demi tercapainya amanat UUD1945 Pasal 28H, demi merumahkan seluruh rakyat secara berkeadilan, pemerintah harus segera berbenah diri meninggalkan segala bentuk fasilitasi bisnis properti.
Pemerintah harus kembali ke jalur kebijakan perumahan rakyat sebagai pemimpin pengembangan permukiman skala besar, baik melalui skema kota baru maupun penataan kawasan.
Berbagai kapasitas dan sistem kelembagaan perumahan rakyat di sektor publik perlu segera dipupuk dan dibangun (Public Housing dan Community Housing Delivery Systems).
“Mulai sekarang juga ! Reformasi dan penguatan Perumnas menuju NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) harus menjadi agenda utama, tegas Jehansyah.
Demikian pula Perumda-perumda atau LHUDC segera didorong melalui berbagai skema kemitraan.
Konsolidasi dan pemanfaatan lahan-lahan BUMN dan Instansi Negara untuk perumahan rakyat harus dilakukan bersamaan dengan pembenahan transportasi kota untuk mencapai struktur ruang yang efisien dan produktif dari kota-kota besar di tanah air.
Pembangunan perumahan dan perkotaan yang dipimpin sektor publik (public sector led) dengan memimpin para pihak lainnya sehingga efisien dan terencana dengan baik, adalah kunci kemajuan pembangunan ekonomi.
”Pengalaman berbagai Negara maju di Asia sudah membuktikan hal ini”, kata Jehansyah. (mm)


http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1725:rencana-kenaikan-harga-rusunami-hanya-untuk-kepentingan-pengembang&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53

Kamis, 10 November 2011

Setop Pembangunan Rusunawa


Oleh Eko Adityo Nugroho
JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) karena salah sasaran dan tak mampu memangkas angka selisih permintaan dan pasokan {backlog) yang menembus 13,6 juta unit rumah. Pembangunan rusunawa juga dinilai hanya menghabiskan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Hentikan pembangunan rusunawa saat ini. Pemerintah lebih baik fokus menyediakan rumah murah dan rumah swadaya untuk kurangi backlog-." ujar Ketua Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LP-P3I) Zulfi Syarif Koto kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (2/11).
Selama ini pemerintah membangun rusunawa bagi personel TNI/Polri, pekerja, mahasiswa, dan pesantren di berbagai daerah di Indonesia.
"Pembangunan rusunawa tersebut tidak tepat sasaran, karena tidak bisa atasi backlog. Seharusnya prioritas pemerintah membangun rusunawa adalah untuk rakyat kecil dan pengentasan kawasan kumuh," tambahnya.
Di tempat terpisah, Asisten Deputi Penyediaan Rusun dan Rumah Tapak Kemenpera
Lukman Hakim menuturkan, pemerintah berencana mendirikan 380 twin block (TB) sejak 2010-2012. Sejumlah 35% atau 135 TB akan dibangun untuk TNI, 20% atau 76 TB untuk Polri dan sisanya bagi mahasiswa, pekerja, dan pesantren. Pembangunan hunian vertikal ini akan dihentikan pada 2013 lantaran tak mendapatkan anggaran.
"Rusunawa TNI dan Polri dimaksudkan untuk mengurangi backlog rumah prajurit TNI dan anggota Polri yang mencapai 274.000 unit dan 298.800 unit," ujarnya.
Berdasarkan rencana strategis (renstra) Kemenpera 2010-2014, pembangunan rusunawa pada 2010 semestinya mencapai 100 TB, pada 2011 sebesar 100 TB, dan 180 TB pada 2012. Adapun, total alokasi anggaran untuk dua periode pertama mencapai Rp 2,4triliun sedangkan pada 2012 sebesar Rp 2,16 triliun. Pada kenyataannya, pembangunan baru rusunawa sepanjang 2010 hanya 49 TB seni Iai Rp 251,89 miliar dan program luncuran sekitar 12 TB senilai Rp 98,06 miliar.
Bebani APBN
Zulfi menambahkan, pembangunan rusunawa tersebut membebani APBN. Oleh karena itu, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), sebaiknya menggunakan dana pembangunan rusunawa dart APBN untuk membiayai program rumah murah maupun rumah swadaya. Selain itu, dana itu juga diusulkan dipakai untuk pengoptimalan pengelolaan rusunawa yang telah dibangun sejak 2005.
Zulfi menambahkan, dana APBN untuk membangun rusunawa di tahun 2012 dijadikan sebagai biaya penyusunan atau perumusan peraturan yang diamanahkan dalam UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) serta UU Rusun. Di samping itu. digunakan untuk program stimulan peningkatan keswadayaan masyarakat dalam gerakan pengentasan kawasan kumuh di perkotaan.
Pengamat perumahan dan perkembangan perkotaan dari ITB M Jehansyah Siregar sebelumnya mengatakan, pembangunan rusunawa yang dilakukan oleh Kemenpera dan Kementerian Pekerjaan Umum perlu diduga ada praktik korupsi di dalamnya.

http://bataviase.co.id/node/859888

Kamis, 27 Oktober 2011

Kepemilikan asing hanya sebatas hak pakai



OLEH SITI NURAISYAH DEWI Bisnis Indonesia

JAKARTA DPR mengungkapkan aturan kepemilikan asing di sektor properti di Tanah Air akan dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan lebih mengarah pada hak pakai, bukan hak guna bangunan."Aturan kepemilikan asing yang akan diatur dalam PP nantinya hak pakai bangunan selama 30 tahun yang dapat diperpanjang selama 20 tahun dan 20 tahun lagi. Tidak bisa langsung hak pakai selama 70 tahun karena akan melanggar UU Pokok Agraria," tutur Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin kepada Bisnis, Selasa.Menurut dia, adanya aturan tersebut diharapkan dapat memberikan peluang bagi kepemilikan .(sing, sambil menanti rampungnya irpvisi UU Pokok Agraria.
.
Direktur PT Ciputra Property Tbk Aii.ulin.ii.i Djangkar mengatakan pemerintah memang seha-rusnya mengeluarkan peraturan terkait dengan kepemilikan asing seperti ketentuan jenis properti apa, di mana lokasinya, dan harga, sehingga warga negara asing (WNA) dapat masuk sesuai dengan keinginannya."Kami melihat orang Indonesia dapat mengeluarkan dananya untuk membeli properti ke beberapa negara di luar negeri, se-dangkan orang asing tidak dapat membeli properti Indonesia. Kan ini sayang," ujarnya.
.
Dia menjelaskan peraturan yang ada saat ini WNA diperbolehkan membeli apartemen yang dibangun di atas hak sewa, sementara, jika pengembang membangun apartemen dengan status hak sewa, akan kehilangan pasar dalam negeri sendiri yang lebihmemilih apartemen dengan status hak guna bangunan (HGB). "Dalam satu apartemen juga tidak bisa di atas hak sewa dan di bawahnya HGB, harus pilih salah satu. Kalau diharuskan memilih kami lebih memilih dengan status HGB, sehingga tidak kehilangan kesempatan pasar dalam negeri yang jauh lebih besar."
.
Pakar perumahan dan permu-kiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan masalah kepemilikan asing di sektor properti yang sebenarnya adalah diperlukannya pembentukan kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI maupun WNA.
.
"Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar, sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap. Menurut kami, yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai. Sebelumnya hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang, pada saat perpanjangan inilah prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu." Dia menuturkan dari situlah pentingnya perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata dan mengurusi perpanjangan hak pakai.
.
http://bataviase.co.id/node/853611

Rabu, 05 Oktober 2011

Gedung Bertingkat Non-Rumah Susun Diiusulkan Diatur Terpisah

Thursday, 06 10 2011

JAKARTA (IFT) - Langkah pemerintah yang memperluas cakupan rumah susun dari sekadar rumah bertingkat untuk kalangan menengah bawah menjadi meliputi juga apartemen mewah, mal, dan perkantoran dalam draf Undang-Undang Rumah Susun dinilai tidak tepat. Pengaturan jenis properti-properti itu seharusnya dibuat dalam undang-undang sendiri yang terpisah dengan regulasi rumah susun.

Pengesahan Undang-Undang Rumah Susun yang diperkirakan pada pertengahan Oktober ini juga dinilai pengamat tergesa-gesa.

“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah berjalan di luar jalur yang diamanahkan konstitusi. Pemerintah diminta memberikan perhatian pada pembangunan rumah bagi warga berpenghasilan rendah, tapi justru sibuk mengurusi pengadaan properti untuk kalangan berpunya,” kata Jehansyah Siregar, pengamat pemukiman dari Institut Teknologi Bandung, di Jakarta, Rabu.

Menurut Jehansyah, pengaturan urusan pembangunan dan penyelenggaraan apartemen mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan di negara-negara lain diatur melalui Undang-Undang Properti atau Undang-undang Real Estat (Property Law atau Real Estate Law). Di Indonesia memang belum ada aturan seperti ini, namun tidak berarti dapat digabungkan dengan undang-undang rumah susun bagi warga berpenghasilan rendah.

Di negara lain, pengaturan gedung bertingkat meliputi jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, termasuk juga urusan kepemilikan di gedung bertingkat  (strata title).

“Namun, bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui undang-undang tersendiri itu lalu mau diatur bersamaan dengan regulasi perumahan rakyat. Tidak bisa begitu,” ujarnya.

Pengaturan tentang gedung bertingkat selain rumah susun, menurut Jehansyah, tidak memiliki kaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Saat ini kebutuhan perumahan rakyat terus membengkak dan semakin sulit dikurangi. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan angka kekurangan (backlog) perumahan mencapai 13,6 juta unit.

Akibat dari salah kaprah pemerintah ini akan berakibat fatal terhadap tata kelola pembangunan perumahan di Indonesia. Menurut Jehansyah, bukan hanya industri properti yang tidak berkembang, namun sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system) tidak akan berkembang. Karena itu, pemerintah dan dewan didesak untuk membuat regulasi sendiri yang terpisah dengan Undang-Undang Rumah Susun untuk mengatur pembangunan dan penyelenggaraan bangunan bertingkat lain di Indonesia.

“Undang-Undang Rumah Susun itu pada dasarnya adalah Public Housing Law, bukan Property Law,” ujarnya.

Zulfi Syarif Koto, Direktur Eksekutif The Housing and Urban Development Institute, mengatakan Undang-Undang Rumah Susun sekarang tidak lagi sesuai dengan perkembangan sektor properti ke depan. Undang-Undang Rumah Susun yang lama tidak mengatur secara tegas tentang hubungan dan hak dasar penghuni rumah susun, baik yang menyangkut keperdataan, kepemilikan, tata guna lahan, perizinan, maupun pelestarian lingkungan.

“Ini memperlambat pengembang hunian vertikal di perkotaan, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” paparnya.

Menurut dia, persoalan utama yang perlu dikritisi adalah menyangkut pengadaan hunian vertikal, perlindungan hak-hak konsumen dan upaya menumbuhkan minat investasi di proyek rumah vertikal. “Selama ini banyak konflik timbul antara pemilik dan penghuni bangunan vertikal baik rumah susun, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Ini tentu tidak dapat diabaikan,” kata Zulfi.

Pemerintah berharap pengesahan Undang-Undang Rumah Susun dapat dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna pada 10 Oktober 2011.

“Kami berharap setidaknya sebulan setelah tanggal tersebut, undang-undang akan ditandatangani oleh presiden, sehingga target penyelesaian undang-undang sebelum akhir tahun ini tercapai,” kata Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan Rakyat.

Menurut dia, dibandingkan regulasi sebelumnya, persoalan Undang-Undang Rumah Susun lebih mudah. Dalam undang-undang yang baru, defenisi rumah susun tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja, namun diperluas menyangkut apartemen menengah dan mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.

“Masalah krusial yang akan dibahas antara lain pemisahan antara ruang vertikal di atas. Apakah itu harus dilekatkan dengan alas hak tanahnya atau dimungkinkan cukup hak guna ruang atau hak pakai ruang,” katanya. (*)

Muhammad Rinaldi


http://www.indonesiafinancetoday.com/read/15664/Gedung-Bertingkat-Non-Rumah-Susun-Diiusulkan-Diatur-Terpisah

Pengesahan RUU Rusun dinilai tergesa-gesa



OLEH SITI NURAISYAH DEWI
ANUGERAH PERKASA

Bisnis Indonesia

JAKARTA Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun pada bulan ini dinilai terlalu tergesa-gesa karena pengaturan beberapa hal yang terkait dengan industri properti dianggap tidak tepat.
M. Jehansyah Siregar, Anggota Tim Visi Indonesia 2033, mengatakan definisi rumah susun di dalam RUU Rusun yang diperluas menyangkut apartemen menengah dan mewah, perkantoran, serta pusat perbelanjaan sudah berjalan di luar jalur semestinya.
.
"Pengaturan urusan apartemen mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan di negara lain diatur melalui UU Properti atau UU Realestat Sayangnya, di Indonesia, .urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri," ujarnya melalui surat elektronik kepada Bisnis kemarin. Menurut dia, di dalam suatu klaster industri properti terdapat banyak kegiatan dan pelaku usaha yang perlu diatur, terutama menyangkut jenis dan transfer kepemilikan, perpajakan, dan jasa broker. Namun, Jehansyah menegaskan bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri itu lantas diatur dengan UU Perumahan Rakyat.
.
"Tidak bisa begitu, semua urusan properti ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat yang urusannya membangun sistem penyediaan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang semakin membengkak dan tidak terpenuhi."
.
Menurut dia, salah kaprah pemerintah itu akan berakibat fatal terhadap tata kelola pembangunan di Tanah Air, yakni bukan hanya industri properti yang tidak akan berkembang, melainkan juga sistem penyediaan perumahan publik yang seharusnya melandasi pembangunan rumah susun publik.
.
Sementara itu, kalangan konsumen menilai RUU Rumah Susun yang segera disahkan itu masih mendukung status quo dengan masih kuatnya hegemoni pengembang terhadap konsumen.
.
Ketua Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia Ibnu Tadji mengatakan pihaknya menghargai upaya yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam menyusun RUU itu, tetapi sayangnya perlindungan konsumen tidak diberikan secara maksimal. "Saya berterima kasih kepada DPR dan pemerintah, tetapi RUU Rusun justru tidak mengatur secara strategis perlindungan terhadap konsumen. RUU ini masih status quo dengan kuatnya hegemoni pengembang," tutur Ibnu.
.
Masih dilibatkan
Dia menjelaskan beberapa hal yang masih mengakomodasi kepentingan pengembang di antaranya masih dilibatkannya pengembang dalam pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Menurut dia, tidak ada penjelasan secara tegas apakah pengembang dapat terus terlibat di dalam PPRS setelah jangka waktu 1 tahun karena pengembang dapat terlibat sementara dalam kurun waktu itu.
.
Selain itu, papar Ibnu. RUU Rusun tidak mengatur masalah pembentukan rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) yang sedianya dapat menjadi wadah pengawasan terhadap PPRS. "RT/RW dapat berfungsi sebagai alat pengawasan terhadap PPRS dan juga merupakan bagian dari budaya masyarakat, tetapi ini tidak ada di dalam RUU Rusun. RUU ini juga tak mengatur secara jelas siapa yang menentukan AD/ART nanti."
.
Direktur Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menegaskan pengembang harus diminta komitmennya untuk mengembangkan rumah susun terutama bagi masyarakat miskin. Menurut dia, boleh saja pengembang membangun rumah mewah, tetapi kompensasinya juga harus ada rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dia menambahkan yang harus diperhatikan adalah komposisi hunian berimbang, yakni terdapat rumah mewah, menengah, dan kecil. "Dalam hal ini, pengembang harus dipaksa untuk membangun rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah, karena kalau tidak, maka tidak ada yang mau membangun," tegas Ali.

http://bataviase.co.id/node/825399

RUU Rusun Dinilai Salah Kaprah

Oleh Eko Adityo Nugroho | Rabu, 5 Oktober 2011 | 13:11

JAKARTA –Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) yang segera disahkan dinilai salah kaprah dan tergesagesa. Hal itu karena kebijakan ini juga mengatur tentang aturan umum di industri properti, seperti pertelaan (strata title). Padahal, RUU Rusun semestinya mengatur tentang kebijakan penyediaan hunian bagi rakyat.

“Di negara-negara maju, persoalan- persoalan seperti jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, dan sebagainya, termasuk juga urusan pertelaan menjadi bagian dalam property law. Tidak dimasukkan dalam aturan-aturan mengenai penyediaan perumahan seperti RUU Rusun ini,” ujar pengamat permukiman dan perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) M Jehansyah Siregar ketika dikonfirmasi Investor Daily dari Jakarta, Senin (3/10).

Menurut dia, pengertian rusun di dalam aturan yang segera disahkan ini juga melebar, tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpendidikan rendah saja. Namun, diperluas menyangkut apartemen menengah mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Pengaturan urusan- urusan tersebut di Negara-negara lain diatur melalui Undang-Undang Properti atau Undang- Undang Real Estat (property law atau real estate law).

“Sayangnya urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri. Namun bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri ini lantas mau diatur dengan undangundang perumahan rakyat. Tidak bisa begitu,” jelas dia.


 http://www.investor.co.id/property/ruu-rusun-dinilai-salah-kaprah/21315#Scene_1

Selasa, 04 Oktober 2011

Wah, Diduga Ada Korupsi di Proyek Rusunawa

JAKARTA (bisnis-jabar.com):  Proyek pemerintah  konstruksi menara rumah susun sederhana sewa (rusunawa) diduga telah terjadi korupsi terkait dengan penggelembungan harga sehingga menjadi sangat mahal dan semakin sulit diperoleh oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Peneliti tata kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan pengadaan menara-menara rusunawa sebanyak lebih dari120 menara twin block yang mirip sekali dengan pengadaan Wisma Atlet di Palembang, sangat patut diduga terjadi praktik penggelembungan dana dan “pengijonan” kepada para kontraktor di dalamnya.
.
“Indikasinya adalah harga satu twin block konstruksi rusunawa yang mencapai sekitar Rp13 miliar yang berisi 96 unit itu terlalu mahal. Satu unit konstruksi sekitar Rp140 juta. Harga ini sangat dekat dengan harga unit rusunami Rp144 juta per unit, yang lebih besar, lebih bagus dan sudah termasuk harga tanah,” ujar Jehansyah di Jakarta, hari ini.
.
Dia mengatakan selain sangat rawan terjadinya praktik seperti kasus wisma atlet di Kementerian Perumahan Rakyat, pola pengadaan proyek konstruksi ini akhirnya tidak akan membangun sistem penyediaan perumahan publik lebih baik. Lebih jauh, sambung Jehansyah, adalah target pengurangan angka kekurangan rumah (backlog) rakyat akan semakin menjauh yang hingga tahun lalu mencapai 13 juta unit.
.
Jehansyah meminta agar para penegak hukum untuk memantau secara melekat para pelaku yang diduga terlibat dalam proyek-proyek terkait. Dia juga mengusulkan agar Presiden Yudhoyono dapat benar-benar memilih menteri yang benar-benar sanggup berlari kencang melakukan reformasi perumahan rakyat dalam upaya memenuhi target-target merumahkan seluruh rakyat secara layak.
.
“Hal ini karena pengadaan rusunawa yang dibiayai APBN hingga lebih dari Rp1triliun itu hanya diadakan sebatas melalui proyek konstruksi, tanpa sistem penyediaan perumahan publik yang utuh yang juga sedianya mampu mengapresiasi aset-aset publik,” papar Jehansyah lagi.
.
Kepada sejumlah media, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan dirinya pasrah saja kalau penggantian tersebut benar-benar dilakukan. Dia menuturkan pihaknya akan memfokuskan pada kinerja saja dan meyakini keputusan Presiden merupakan sesuatu yang profesional, bukan faktor ketidaksukaan.(fsi)
.
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/2011/10/wah-diduga-ada-korupsi-di-proyek-rusunawa/
http://www.bisnis-jatim.com/index.php/2011/10/04/wah-diduga-ada-korupsi-di-proyek-rusunawa/

UU RUMAH SUSUN MENGATUR URUSAN PROPERTI ?

Jakarta, 4/10/2011 (Kominfonewscenter) – Pemerintah dan DPR tampaknya begitu tergesa-gesa ingin segera mengesahkan Rancangan UU Rumah Susun pada awal Oktober 2011 ini. Padahal Rancangan Undang-Undang Rumah Susun yang masih berisikan definisi rumah susun yang tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja, namun diperluas menyangkut apartemen menengah mewah, perkantoran dan pusat perbelanjaan, sudah berjalan di luar jalur yang semestinya.
.
Hal itu dikemukakan Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D anggota Tim Visi Indonesia 2033, dosen SAPPK-ITB, di Jakarta Senin (3/10). Menurut Jehansyah pengaturan urusan-urusan apartemen mewah, perkantoran dan pusat perbelanjaan di negara-negara lain diatur melalui Undang-undang Properti atau Undang-undang Real Estat (Property Law atau Real Estate Law).
.
“Sayangnya urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri”, kata Jehansyah.
Di dalam suatu klaster industri property, ada banyak kegiatan dan pelaku yang perlu diatur, terutama menyangkut masalah jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, dan sebagainya, termasuk juga urusan pertelaan (strata title), menjadi bagian urusan industri properti ini. Namun bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri ini lantas mau diatur dengan undang-undang perumahan rakyat. ”Tidak bisa begitu. Semua urusan properti ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat, yang urusannya adalah membangun system penyediaan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang semakin terus membengkak tidak terpenuhi”, kata Jehansyah.
.
”Bagaimana mungkin Perumahan Rakyat mengurus soal pertelaan perkantoran dan pusat perbelanjaan? Ini jelas-jelas sudah salah kaprah namanya”, tambah Jehansyah. Menurut Jehansyah akibat dari salah kaprah pemerintah ini akan berakibat fatal dalam tata-kelola pembangunan di tanah air. Bukan hanya industri properti yang tidak akan berkembang, sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system) yang seharusnya melandasi pembangunan rumah-rumah susun publik, juga tidak akan berkembang, kapasitas lembaga pemerintah juga tidak akan berkembang dalam penyediaan perumahan publik.
.
Perumnas sebagai NHUDC tidak akan berkembang, Pemerintah Daerah tidak akan memiliki model pengadaan perumahan publik yang baik. Sementara kementerian hanya mengadakan proyek konstruksi Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) seperti selama ini, yang mirip dengan pengadaan Wisma Atlet. Akan semakin banyak menara-menara rumah susun yang terlantar dan tidak mengenai sasaran karena tidak adanya landasan aturan mengenai sistem pengadaannya. Yang jelas adalah housing backlog (angka keurangan rumah) yang angkanya sudah melonjak tajam menjadi 13,6 juta unit tidak akan pernah terkejar karena Kementerian Perumahan Rakyat tidak akan fokus mengurus perumahan rakyat.
.
”Jadi, dimohon Pemerintah dan DPR membuat Undang-undang itu yang benar, UU Rusun itu pada dasarnya adalah Public Housing Law, bukan Property Law”, kata Jehansyah. (mydk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1641:uu-rumah-susun-mengatur-urusan-properti-&catid=43:nasional-hukum&Itemid=34

Senin, 19 September 2011

Tarik Ulur Badan Pelaksana Rumah Susun




Oleh Eko Adityo Nugroho
.
JAKARTA - Rencana pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun yang tengah dibahas di dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) memicu polemik hingga berakibat pengesahanaturan tersebut makin panjang. Namun begitu, pembahasan pembentukan badan ini diharapkan dapat memberikan hasil yangmemudahkan masyarakat memperoleh tempat tinggal layak.
Sejumlah pihak mengklaim badan tersebut sangat dibutuhkan guna mendorong pembangunan tempat tinggal bagi masyarakat, khusus hunian vertikal. Tantangan besar dan berat yang mengadang dalam proses penyediaan perumahan di masa mendatang menjadi penggerak badan ini segera dibuat Belum lagi, tanggung jawab badan ini tidak lagi kepada kementerian/lembaga, melainkan kepada presiden langsung.
Pihak-pihak yang mendukung gagasan ini berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, ada pula dari kalangan penghuni rumah susun yang tergabung dalam Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi). Pihak-pihak ini secara tegas berupaya mengegolkan pembentukan badan pelaksana rumah susun dapat diakui di dalam RUU Rusun.
Sebelumnya, di dalam Undang-Undang No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) telah disetujui untuk membentuk badan baru atau menunjuk badan yang sudah ada untuk bertanggung jawab dalam penyediaan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sepertinya, pihak-pihak yang menyetujui pembentukan badan pengelola rumah susun ini berupaya lembaga ini bisa masuk dalam RUU Rusun sebagaimana badan baru di UU PKP.
Empat Faktor
Namun begitu, hal itu dibantah oleh Ketua Umum Aperssi Ibnu Tadji. Menurut dia, badan yang akan dibentuk ini bukan mengekor dari pembentukan badan yang ada di dalam UU PKP. Pembentukan badan pelaksana rumah susun sejatinya untuk menjawab tantangan perumahan di masa mendatang yang makin berat terutama dalam ketersediaan lahan perumahan.
"Untuk mengantisipasi tantangan yang besar di kemudian hari, kita perlu berpikir jernih dan menyiapkan cara pandang yang jauh ke depan atau berpikiran visioner. Karena besarnya tantangan yang mesti dihadapi, badan ini harus berada di bawah presiden langsung," ungkap dia kepada Investor Daily di Jakarta, baru-baru ini.
Untuk itu, dia meminta agarpemerintah bisa memikirkan empat faktor yang perlu dikaji mendalam mengenai permasalahan penyediaan perumahan di masa mendatang. Pertama, ketersediaan lahan perumahan lambat laun akan makin -menipis, sementara permintaan terhadap tempat tinggal diperkirakan makin meningkat
Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah permintaan tempat tinggal sudah mendekati 14 juta unit rumah. Sedangkan kemampuan membangun rumah hanya sekitar 400.000-500.000 unit rumah per tahun. "Ke depan, dengan tantangan yang makin besar dan berat, tidak mungkin bisa diatasi dengan sumber daya yang ada sekarang," Imbuhnya.
Kedua, lanjut Ibnu, pengelolaan pembangunan rumah susun sekarang ini juga masih amburadul, baik dari sisi perizinan yang berbelit, proses panjang, ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas, (PSU), seperti air bersih dan listrik yang tak memadai, hingga adanya pungutan liar. Begitu proses pembangunan selesai dilakukan pun, masih terdapat pengelolaan yang tak beres, seperti dominannya peran pengembang di dalam pengurus penghuni rumah susun (PPRS). "Karena itu, manajemen pembangunan rumah susun mesti diperbaiki total dan itu tidak bisa dilakukan pemerintah karena akan ada kepentingan yang bermain di situ," paparnya.
Pemerintah juga perlu mengkaji kemampuan dalam teknologi pembangunan rumah susun yang diterapkan saat ini. Teknologi yang dimaksud berupa daya membangun yang ada saat ini, sehingga mendorong produksi hunian yang relatif cepat
"Keempat dibutuhkan likuiditas pembiayaan pembangunan hunian vertikal yang tidak sedikit Selama ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran ini. Ke depan perlu ada alokasi dana untuk itu dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Presiden bisa melakukan itu karena badan ini berada langsung di bawahnya," jelas Ibnu.
Sementara itu. Ketua Panitia Kerja RUU Rusun DPR RI Mulyadi mengungkapkan, badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar terhadap masalah rumah susun nasional. Badan ini dapat bertindak sebagai pelaksana pembangunan,pemeliharaan, dan pengelolaan rumah susun umum, yang meliputi rumah sejahtera susun dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang bersubsidi.
Dia menambahkan, pembentukan badan pelaksana rumah susun akan berdampak pada proses pembangunan rumah susun menjadi satu-kesatuan dan fokus, tidak lagi terpisah pada beberapa kementerian. Selama ini pembangunan rumah susun dilakukan oleh Kementerian Perumahan Rakyat yang membangun rusunawa untuk mahasiswa, prajurit TNI dan Polri, serta pesantren. Adapun Kementerian PU membangun rusun untuk mengatasi kekumuhan di kota-kota besar.
Proses pembangunan rumah susun tersebut menjadi salah sasaran lantaran bukan menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
Badan ini juga memiliki kewenangan bernegosiasi dengan pemerintah daerah terkait alokasi lahan rumah susun serta subsidi pemeliharaan hunian. "Dengan demikian, persoalan rumah susun yang lokasinya tidak strategis, belum dialiri listrik, air bersih, dan kekumuhan diharapkan tidak terulang," kata Mulyadi.
.
Tumpang Tindih
.
Kendati terlihat peran badan khusus ini cukup baik, ada pula beberapa pihak yang justru menentang dibentuknya badan pelaksana rumah susun ini. Mereka adalah Kementerian Perumahan Rakyat, Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP RED. Perum Perumnas, dan kalangan pemerhati masalah perumahan.
.
Mereka beranggapan pembentukan lembaga ini mubazir karena selama ini penyediaan tempat tinggal, khususnya hunian vertikal, telah dibangun oleh para pengembang swasta dan Perum Perumnas. Bahkan, pemerintah turut andil menyediakan rumah susun melalui program rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Ketua Tim Perumus RUU Rusun dari sisi pemerintah Sri Hartoyo mengungkapkan, pembentukan badan pelaksana rumah susun dianggap tidak perlu karena pada prinsipnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda). Pemerintah pusat hanya akan memberikan pembinaan, memfasilitasi, dan menstimulasiagar tanggung jawab pemda dapat berjalan dengan baik. "Hal ini juga selaras dengan prinsip pembangunan nasional yang mengedepankan sistem otonomi daerah," jelas Sri.
.
Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso mengungkapkan, peran badan khusus ini belumlah jelas, apakah akan bekerja di sektor hulu atau hilir perumahan. Apabila bekerja di sektor hulu, badan ini tentu akan bersinggungan dengan pengembang swasta, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), pemerintah, dan juga Perum Perumnas. Sedangkan di sektor hulu bersinggungan dengan PPRS. "Namun, agar lebih efektif kenapa tidak diatur saja untuk berperan seperti selama ini. Itu akan lebihbaik," ujar dia.
.
Peran badan baru yang dinilai bersinggungan dengan pemangku kepentingan lain juga diakui oleh pengamat perumahan dan tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar. Dia mengatakan pembentukan badan tersebut berpotensi memunculkan persaingan tidak sehat Peran badan khusus ini juga dinilai akan tumpang tindih dengan apa yang dilakukan oleh Perumnas selama ini. "Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation," terang dia.
Sebagai lembaga yang mengelola aset publik, lanjutnya, keduanya harus mencari untung dalam aspek tertentu dan secara umummemberikan pelayanan publik yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan konsep kebijakan perumahan yang jelas.
.
Mulyadi menegaskan, peran dan fungsi lembaga baru itu tidak akan tumpang-tindih dengan Perum Perumnas karena tidak mencari keuntungan, sedangkan Perumnas berbentuk perusahaan umum yang masih mencari laba. "Kalau mau, Perum Perumnas melebur saja ke dalam badan ini," ujar dia.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tersebut, seyogianya keberpihakan dari pihak-pihak terkait terhadap masyarakat kecil patut diutamakan. Mencampuradukkan kepentingan golongan demi tercapainya kesuksesan semu justru akan menjauhkan kepentingan masyarakat mendapatkan tempat tinggal.

http://bataviase.co.id/node/803993

Kamis, 08 September 2011

REI klaim 15 tahun suarakan regulasi kepemilikan properti warga asing

REI klaim 15 tahun suarakan regulasi kepemilikan properti warga asing

Oleh JIBI on 7 September , 2011

JAKARTA (bisnis-jabar.com): Real Estate Indonesia (REI) mengaku telah 15 tahun memperjuangkan pengaturan kepemilikan properti bagi warga negara asing di Indonesia menyusul kepentingan bisnis dan nasionalisme.
.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Setyo Maharso mengatakan kepentingan bisnis yang dimaksud yakni dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kepemilikan asing di properti yang cukup besar.
.
Selain itu, lanjut dia, kepentingan nasionalisme menyusul banyaknya penyelundupan hukum pada kepemilikan properti di mana warga asing tersebut menggunakan nama warga negara Indonesia pada saat membeli properti.
.
“Misalnya di Bali banyak penyelundupan-penyelundupan hukum yakni pura-pura membeli atas nama WNI dengan menikahinya sehingga Indonesia tidak mendapatkan retribusi dan pajak dari pembelian properti tersebut,” kata Setyo, beberapa waktu lalu.
.
Menurut Setyo Indonesia jangan terdikotomi oleh adanya istilah terdikotomi menjual tanah air dengan memperpanjang jangka waktu kepemilikan asing di properti. Dia mencontohkan Singapura, negara yang memiliki luas lahan sempit berani membuka kepemilikan asing di propertinya dimana 60% pembelinya berasal dari Indonesia.
.
Setyo menjelaskan dana hasil penjualan properti ke warga asing juga dapat digunakan sebagai subsidi silang untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dia menambahkan kebijakan kepemilikan properti bagi warga asing tersebut disarankan hanya di beberapa kota besar untuk melindungi daerah lain dari serbuan warga di luar Indonesia.
.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan masalah kepemilikan asing di properti yang sebenarnya adalah diperlukannya pembentukan kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI dan WNA.
.
“Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap. Menurut kami yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai. Sebelumnya hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang, pada saat perpanjangan inilah yang prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu,” tutur Jehansyah, beberapa waktu lalu.
.
Jehansyah menuturkan dari situlah pentingnya perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata dan mengurusi perpanjangan hak pakai.
.
Dia menjelaskan di negara maju, peran ini awalnya dijalankan perusahaan perumahan negara yang mengelola public housing. Kemudian secara bertahap, perusahaan perumahan nasional ini memberdayakan unit yang sama di daerah. (fsi)
.
http://bisnis-jabar.com/index.php/2011/09/rei-klaim-15-tahun-suarakan-regulasi-kepemilikan-properti-warga-asing/

Senin, 15 Agustus 2011

Objek sertifikat agar dipisah


OLEH SITI NURAISYAH DEWI
Bisnis Indonesia

JAKARTA Pemerintah diminta menerapkankebijakan pemisahan sertifikasi tanah dan bangunan sebagai upaya untuk menarik investasi asing pada sektor properti di Indonesia.
Martin Roestamy, Rektor Universitas Djuanda Bogor, mengatakan konsep dasarnya asing tetap tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah, tetapi kepemilikan bangunan saja.
"Kepemilikan atas bangunan inilah yang kemudian dapat diatur dan dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun yang saat ini masih dalam pembahasan," ujarnya kepada Bisnis, Selasa.
Dia menjelaskan sertifikat tanah dimiliki oleh Perhimpunan Pemilik Rumah Susun dan perhimpunan tersebut yang mengatur kepemilikan tanah bersama dengan perbandingan yang proporsional berdasarkan luasan.
Menurut dia, pemisahan sertifikasi bangunan dan tanah memiliki beberapa keuntungan di antaranya dapat menggairahkan kembali geliat investasi asing di sektor properti yang hasilnya dapat digunakan untuk subsidi silang pembangunan rumah murah.
Selain itu. papar Martin, kebijakan itu dapat mengurangi penyelundupan hukum yang selama ini terjadi yakni pembeli-an properti oleh asing atas nama warga negara Indonesia dan dapat meningkatkan pendapatan negara dalam bentuk pajak barang mewah.
"Penetapan apartemen ataupun rusun untuk asing juga diatur pada harga minimum dan berada di daerah mana. Hak guna bangunan juga dapat ditambah masa berlakunya menjadi SO tahun," ujarnya.
Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia Zulfi Syarif Koto mengatakan jika kebijakan sertifikasi atas bangunan terlepas dari sertifikasi tanah dapat diterapkan, penjabaran UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung dapat digunakan sebagai payung hukum.
"Dengan adanya UU sebagai payung hukum, maka dapat digunakan untuk membuka peluang investasi asing di bidangproperti yang sampai saat ini masih buntu," tutur Zulfi kepada Bisnis.
Zulfi menambahkan kebijakan itu juga dapat mempermudah masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh rumah yang layak dan harga terjangkau, seperti rusun dengan subsidi tanah dari pemerintah atau dana tanggung jawab sosial BUMN ataupun perusahaan asing dan pengadaan lahan milik pemerintah daerah.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung M. Jehansyah Siregar mengatakan perlu dibentuk kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah dan mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk warga negara Indonesia maupun warga asing.
"Kebutuhan pasar asing di properti cukup besar sehingga membutuhkan pola kepenghuni-an yang lebih mantap. Menurut kami, yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai, tetapi pada saat perpanjangan itulah yang prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu," katanya beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, Jehansyah menegaskan perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata, dan mengurusi perpanjangan hak pakai.
Menurut dia, di negara maju, peran itu awalnya dijalankan oleh perusahaan perumahan negara yang mengelola public housing. Namun, secara bertahap perusahaan perumahan nasional memberdayakan unit yang sama di daerah.
Minat asing
Arief Rahardjo, Head of Research Advisory PT Cushman Wakefield Indonesia, mengatakan banyak investor asing yang tertarik menggarap proyek properti di Indonesia, terutama pembangunan perumahan dan apartemen servis dalam pengembangan kawasan terpadu.
"Saat ini, investor asing lumayan aktif berinvestasi di Indonesia, banyak yang sudah tertarik, tetapi potensi yang siap untuk dikerjasamakan masih terbatas. Kalaupun ada proyek superblok biasanya dibangun sendiri oleh pengembang lokal," ujarnya kepada Bisius kemarin.
Arief menjelaskan adanya perbedaan permintaan dan persediaan pasar properti pada suatu lokasi menyebabkan asing lebihtertarik untuk melihat per sektor .dalam pembangunan kawasan terpadu tersebut.
"Pertama asing melihat ke developernya terlebih dahulu, kemudian mempertimbangkan besaran imbal hasil. Karena adanya perbedaan pasar properti dari sisi demand dan supply, biasanya asing masuk pada sektor tertentu saja seperti perumahan dan apartemen servis, sedangkan perkantoran lebih banyak oleh pengembang lokal."
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo mengatakan pertumbuhan bisnis properti, terutama perumahan selama 6 bulan pertama tahun ini seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat.
Selan itu, paparnya, perhatian pemerintah terhadap sektor perumahan lebih baik, terutama terkait dengan kebijakan pemberian subsidi bagi masyarakat menengah bawah.
"Pertumbuhan bisnis perumahan pada tahun ini memang lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.Perkembangannya juga hampir merata di Indonesia karena adanya kebijakan subsidi bagi kelas menengah bawah melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan," tutur Eddy.
Namun, menurut Eddy, yang perlu dibenahi terutama pada pembangunan rumah kelas menengah bawah adalah peran pemerintah daerah untuk memberikan kemudahan perizinan. (JUNAIDI HALIK) (siii.numisvahQMs-nis.co.id)

http://bataviase.co.id/node/768189


Selasa, 09 Agustus 2011

Sertifikasi Bangunan & Tanah Rusun Perlu Dipisahkan

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Published On: 09 August 2011

JAKARTA: Pemerhati perumahan menilai untuk memecah kebuntuan terkait investasi asing di sektor properti di Tanah Air perlu adanya pemisahan sertifikasi bangunan dan sertifikasi tanah pada rumah susun.

Rektor Universitas Juanda Martin R mengatakan konsep dasarnya tetap bahwa asing tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah tetapi kepemilikan bangunan saja. Kepemilikan atas bangunan inilah yang kemudian dapat diatur dan dimasukkan ke dalam Rancangan UU Rumah Susun yang saat ini masih dalam pembahasan.

“Sertifikasi tanah dimiliki bersama oleh Perhimpunan Pemilik Rumah Susun, perhimpunan tersebut mengatur kepemilikan tanah bersama dengan perbandingan yang proporsional berdasarkan luasan. Dengan adanya pemisahan sertifikasi ini setidaknya ada 3 hal keuntungan yang diperoleh,” tutur Martin saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Adapun tiga keuntungan tersebut, lanjut Martin yakni dapat menggairahkan kembali geliat investasi asing di sektor properti Indonesia dimana hasilnya juga dapat digunakan sebagai subsidi silang pembangunan rumah murah bagi masyarakat, mengurangi penyelundupan hukum yang selama ini terjadi yakni pembelian properti oleh asing atas nama WNI dan dapat meningkatkan pendapatan negara dalam bentuk pajak barang mewah.

“Penetapan apartemen atau rusun untuk asing juga diatur pada harga minimum berada dan di daerah mana. Hak guna bangunan juga dapat diperlama menjadi 50 tahun,” imbuhnya.

Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia Zulfi Syarif Koto mengatakan jika pemberian sertifikasi atas bangunan terlepas dari sertifikasi tanah dapat diterapkan, maka penjabaran UU No.28/2002 tentang Bangunan Gedung dapat digunakan sebagai payung hukum.

“Dengan adanya UU sebagai payung hukum, dapat digunakan untuk membuka peluang investasi asing di bidang properti yang sampai saat ini masih buntu,” tutur Zulfi kepada Bisnis, kemarin.

Dia menambahkan dari hal tersebut juga dapat mempermudah masyarakat berpenghasilan rendah memperoleh rumah yang layak dan terjangkau khususnya melalui rusun dengan subsidi tanah dari pemerintah atau dana CSR Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan milik asing serta peran pengadaan lahan milik pemerintah daerah.

Sementara itu pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan perlu dibentuk kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI dan WNA.

“Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap. Menurut kami yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai. Sebelumnya hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang, pada saat perpanjangan inilah yang prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu,” tutur Jehansyah, beberapa waktu lalu.

Jehansyah menuturkan dari situlah pentingnya perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata dan mengurusi perpanjangan hak pakai.

Dia menjelaskan di negara maju, peran ini awalnya dijalankan perusahaan perumahan negara yang mengelola public housing. Kemudian secara bertahap, sambungnya perusahaan perumahan nasional ini memberdayakan unit yang sama di daerah. (faa)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/34840-sertifikasi-bangunan-a-tanah-rusun-perlu-dipisahkan


Kamis, 21 Juli 2011

Praktisi justru dukung pengesahan RUU Rusun ditunda

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Bisnis Indonesia
Published On: 21 July 2011
.
JAKARTA: Praktisi dan pemerhati perumahan menilai ditundanya pengesahan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada masa sidang ketiga 2011 merupakan langkah yang baik guna menyempurnakan aturan mengenai Badan Pelaksana Rumah Susun.
.
Anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan saat ini Pasal-Pasal tentang BPRS masih terlalu sederhana sehingga terkesan badan baru tersebut memiliki kekuasaan yang cukup besar.
.
“Lebih bagus memang RUU Rusun belum disahkan terlebih dahulu untuk melengkapkan aturan mengenai Badan Pelaksana Rumah Susun yang saat ini Pasal yang mengaturnya terlalu sederhana, isinya belum diatur,” tutur Jehansyah saat dihubungi Bisnis, hari ini.
.
Namun, Jehansyah menilai dengan ditundanya pengesahan RUU Rusun pada sidang setelah 15 Agustus 2011 nanti menunjukkan penyusunan RUU tersebut belum fokus pada apa yang akan diatur. Seharusnya semangat RUU Rusun dikembalikan pada UU No.16/1985 tentang Rumah Susun dimana pembangunan rusun adalah dalam rangka penyediaan perumahan untuk umum.
.
Lebih lanjut dia menuturkan agar fokus pada apa yang akan dibangun maka perlu dibentuk suatu sistem kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah. Terkait dengan pembentukan BPRS, Jehansyah mengatakan mendukung lembaga tersebut agar ada pemisahan antara regulator dan operasional.
.
“Terbentuknya BPRS memang terobosan dan memicu tarik menarik banyak kepentingan. Kami mendukung revitalisasi Perum Perumnas. Nantinya BPRS dan Perumnas dapat bekerjasama yang paling sinergis yaitu BPRS menyiapkan software dan hardware pembangunan rusun serta pengelolaan rusun setelah dibangun, sedangkan Perumnas berperan untuk menyiapkan kawasan pembangunan perumahan dan infrastruktur dasarnya,” imbuh Jehansyah. (faa)
.
http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/32189-praktisi-justru-dukung-pengesahan-ruu-rusun-ditunda

Badan Pelaksana Rumah Susun Belum Disepakati

PERUMAHAN RAKYAT
Rabu, 20 Juli 2011 | 03:46 WIB
.
Jakarta, Kompas - Penyelesaian Rancangan Undang- Undang Rumah Susun diputuskan untuk diskors hingga Rabu (20/7) ini. Perdebatan substansi RUU Rumah Susun yang belum mencapai titik temu yakni pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun.
.
Keputusan menunda draf final RUU Rumah Susun berlangsung dalam rapat kerja Komisi V DPR dan pemerintah di Jakarta, Selasa (19/7), seusai Panitia Kerja RUU Rumah Susun melaporkan putusan final. Meski ditunda, Panitia Kerja DPR untuk RUU Rumah Susun menargetkan RUU disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (21/7) besok.
.
Rapat kerja RUU Rusun berlangsung alot, diwarnai sejumlah perdebatan sehingga sempat terjadi skors selama lebih kurang 1,5 jam. Panja DPR untuk RUU Rusun menyepakati pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun, tetapi pemerintah meragukan pembentukan badan tersebut.
.
”Ada dua opsi yang harus dituntaskan, yaitu apakah pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun bersifat mandatory (wajib) atau optional (pilihan),” ujar Mulyadi, Ketua Panitia Kerja DPR untuk Rumah Susun dari Fraksi Partai Demokrat.
.
Penundaan pembahasan final RUU Rumah Susun menuai keraguan di kalangan anggota Komisi V DPR karena sangat mepet dengan jadwal Rapat Paripurna DPR tentang persetujuan RUU Rumah Susun.
Pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun tercantum pada RUU Rumah Susun Bab 10 tentang Kelembagaan, yakni Pasal 72, 73, dan 74. Badan tersebut antara lain bertugas melaksanakan pembangunan rumah susun umum dan khusus, serta koordinasi lintas sektor untuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
.
Badan itu juga diarahkan berfungsi memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun, kepenghunian, pengalihan, pemanfaatan, pengelolaan, verifikasi pemenuhan persyaratan calon pemilik dan/ atau penghuni, serta pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun dengan berbagai instansi di dalam dan luar negeri.
.
Ahli perumahan dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, menilai, fungsi badan ini sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan rumah susun yang selama ini berorientasi pada proyek menara-menara rumah susun yang terbukti kerap telantar. (LKT)
.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/20/03460458/Badan.Pelaksana.Rumah.Susun.Belum.Disepakati


Jehan:
BPRS tetap berpotensi menimbulkan dualisme dengan Perumnas. Namun dibandingkan dengan organisasi proyek Rusun yang ada sekarang, BPRS lebih baik karena lebih bertanggung jawab dalam perencanaan lokasi, perencanaan dan penjaringan penghuni dan pengelolaan bangunan dan kawasan, sehingga lebih berpotensi menghindari Rusun terlantar. Untuk itu BPRS perlu terus ditingkatkan kapasitasnya. BPRS tetap perlu bersinergi dengan Perumnas, Pemda, dan lembaga lain (bagian wawancara yg tak dimuat).

Jumat, 08 Juli 2011

Perumnas khawatirkan dualisme peranan dengan BPPRS

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Published On: 08 July 2011



JAKARTA: Perum Perumnas berharap tidak terjadi dualisme peranan jika pemerintah membentuk Badan Pembangun dan Pengelola Rumah Susun (BPPRS).

Direktur Utama Perum Perumnas Himawan Arief Sugoto mengatakan di negara manapun tidak ada dalam suatu negara terdapat 2 organisasi yang sama sasaran pengembangannya.

“Dengan adanya pembentukan Badan Pembangun dan Pengelola Rusun, peranan Perumnas akan seperti apa kami belum tahu. Yang jelas harus didiskusikan dengan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (KemenBUMN) sebagai pemilik Perumnas,” tutur Himawan saat dihubungi Bisnis, hari ini.

Lebih lanjut Himawan menjelaskan daripada membentuk badan atau lembaga baru, lebih baik pemerintah memberdayakan lembaga yang sudah ada seperti merevitalisasi Perumnas.

Peneliti Tata Kota Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan badan tersebut berpotensi memicu persaingan tidak sehat dengan Perumnas sebagai penyedia perumahan publik, terutama untuk masyarakat berpenhasilan rendah.

Menurut dia dengan adanya potensi persaingan tidak sehat, pembentukan lembaga baru yang diatur di dalam RUU Rusun itu perlu dikaji kembali secara baik. Peranan Badan Pembangun dan Pengelola Rusun, kata dia, akan tumpang tindih dengan apa yang dilakukan oleh Perumnas selama ini.

“Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation,” tutur Jehansyah.(api)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/30421-perumnas-khawatirkan-dualisme-peranan-dengan-bpprs

Rabu, 06 Juli 2011

Ada potensi persaingan tak sehat antar lembaga penyedia perumahan

Oleh Anugerah Perkasa
Published On: 06 July 2011

Bisnis Indonesia

JAKARTA: Badan Pembangunan dan Pengelola Rumah Susun berpotensi memicu persaingan tidak sehat dengan Perum Perumnas sebagai penyedia perumahan publik terutama untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Oleh karena itu diperlukan kematangan dalam kebijakan.


Peneliti Tata Kota ITB Jehansyah Siregar mengatakan rencana pembentukan Badan Pembangunan Rumah seperti yang diatur dalam RUU Rusun perlu dikaji kembali secara baik. Menurutnya, peranan lembaga baru tersebut dapat menyebabkan tumpang tindih dengan apa yang telah dilakukan Perumnas selama ini.

“Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation,” ujar Jehansyah saat dikonfirmasi Bisnis pada hari ini.

Diketahui, Komisi V DPR RI akhirnya menyepakati dibentuknya lembaga khusus untuk pembangunan perumahan rakyat yang klausulnya dimasukkan dalam RUU Rusun. Lembaga tersebut akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden terkait dengan upaya penyatuan pembangunan rusun sehingga lebih bisa difokuskan.

Menurut Jehansyah, kedua lembaga pembangunan perumahan itu bisa memicu persaingan tidak sehat yang sangat bergantung dengan kematangan kajian konsep kebijakan dan mekanisme penyediaan yang mendasarinya.

Walaupun demikian, dia menuturkan, kemungkinan lainnya juga adalah terjadinya persaingan sehat bahkan melakukan sinergi.

“Sebagai lembaga yang mengelola aset publik, keduanya harus mencari untung dalam aspek tertentu dan secara umum memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Untuk itu diperlukan konsep kebijakan perumahan yang jelas,” ujar Jehansyah.

Dia mengingatkan persoalan lembaga itu juga terkait dengan efektifitas anggaran negara dan efesiensi manajemen aset publik. Selain itu, papar Jehansyah, penyediaan kebutuhan rumah rakyat merupakan taruhannya.

Berdasarkan data BPS, jumlah defisit kebutuhan rumah kian melonjak hingga mencapai 13 juta pada akhir 2010. Ini jauh melonjak dibandingkan dengan backlog pada akhir 2009 yang mencapai sekitar 8 juta.

Panitia Kerja RUU Rusun menilai jika badan ini dibentuk maka pembangunan rusun akan menjadi satu kesatuan dan fokus, tidak terpisah di beberapa kementerian.

Badan itu juga merupakan solusi terhadap aspek perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan seperti misalnya untuk pekerja, maka seharusnya pembangunan rusun ditempatkan pada lokasi yang dekat dengan tempatnya bekerja sehingga dapat mengurangi kemacetan.

Para legislator melihat sedikitnya terdapat empat fungsi badan tersebut yakni membangun rusun, memelihara dan memperbaiki rusun, menjamin verifikasi kepenghunian rusun sehingga penghuni rusun benar-benar tepat sasaran peruntukannya serta melakukan verifikasi lokasi pembangunan rusun.

Selama ini, terkesan pembangunan rusun sepertinya tidak boleh di pusat kota serta belum ada peningkatan kualitas dari rusun yang terbangun.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda sebelumnya mengatakan pengelolaan bank tanah di pelbagai daerah sangat minim, bahkan banyak lahan yang justru tidak dimanfaatkan dengan baik. Tak hanya itu, sambungnya, pengelolaan data mengenai bank tanah pun masih sangat kurang.

"Data bank tanah di daerah dikhawatirkan tidak diawasi dengan baik, sehingga banyak menimbulkan sengketa, atau tidak jelas lokasinya," ujar Ali di Jakarta. "Bahkan ada yang telah jelas lokasinya, namun kemudian pindah ke pihak ketiga."

Oleh karena itu, dia menambahkan, perlunya dipertimbangkan kembali dibentuk sebuah lembaga khusus dalam pengelolaan bank tanah beserta datanya. Ali mengungkapkan fungsi lembaga itu tidak hanya pendorong dan pemberi stimulus seperti Kementerian Perumahan Rakyat, melainkan juga menjadi eksekutor mengenai tanah.

Dia mengungkapkan kuatnya otonomi daerah dapat berpotensi tidak berhasilnya pemerintah menyediakan hunian untuk rakyat. Selain itu, papar Ali, diperlukan koordinasi lebih intensif antara pemerintah pusat serta daerah terkait dengan penyediaan lahan untuk hunian tersebut.
(faa)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/30052-ada-potensi-persaingan-tak-sehat-antar-lembaga-penyedia-perumahan-publik

Selasa, 05 Juli 2011

Cegah Liberalisasi di Industri Properti

04 Jul 2011
Investor Daily
Oleh Eko Adityo Nugroho
.
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta pemerintah tidak terburu-buru memasukkan aturan properti asing ke dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) karena akan menyebabkan liberalisasi di industri properti. Pemerintah diharapkan fokus pada upaya penyediaan rumah untuk atasi defisit perumahan sebesar 13,6 juta unit.
.
Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengusulkan tidak memasukkan aturan properti asing dinilai tepat. Usulan tersebut merupakan bentuk keberpihakan DPR terhadap kepentingan rakyat yang membutuhkan tempat tinggal. Menurut peneliti kebijakan publik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago, pemberlakuan properti asing di tengah ketidakmampuan pemerintah menjamin ketersediaan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa mengancam pasokan tempat tinggal bagi masyarakat Pemberlakuan aturan itu akan menyebabkan harga rumah semakin tidak terjangkau, sehingga menyulitkan MBR memiliki tempat tinggal.
.
"Adanya properti asing secara struktural akan menyebabkan harga rumah semakin tidak terjangkau, sehingga menyulitkan MBR miliki tempat tinggal. Hal itu juga akan memunculkan monopoli alamiah, meski agak sulit dilihat melalui Undang-Undang Persaingan Usaha," tandas dia saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Minggu (3/7). Kendati demikian, jelas dia, pemberlakuan properti asing tetap perlu diatur dalam perundang-undangan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder, seperti pemerintah, publik, pengembang, dan orang asing. Namun, hal itu mensyaratkan pemerintah sudah berlaku dominan dalam penyediaan tempat tinggal bagi masyarakat kecil."Dalam hal ini pemerintah tidak lagi sebagai fasilitator maupun mediator, melainkan sebagai penyuplai hunian bagi MBR melalui dana dari APBN." tegas Andrinof.
.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh (Aperssi) Ibnu Tadji sebelumnya mengungkapkan, memasukkan klausul kepemilikan properti asing di dalam RUU Rusun akan membuka pintu liberalisasi properti di Indonesia dan mengancam pasokan tempat tinggal bagi MBR. Liberalisasi ini akan memicu harga properti dan lahan menjadi amat tinggi yang pada akhirnya mempersempit akses masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal. "Kondisi seperti itu pernah terjadi di Tiongkok- Harga-harga properti di sana naik signifikan hingga mencapai 10 kali lipat Masyarakat pun hampirtidak mungkin memiliki tempat tinggal. Karena itu, kalau bisa aturan itu tidak dimasukkan sama sekali," paparnya.
.
Pemerintan, sambungnya, tidak akan dirugikan akibat tidak memberlakukan aturan properti asing di Indonesia. Pemerintah justru diuntungkan karena akan tetap dapat membeli lahan yang dapat digunakan untuk membangun hunian bagi masyarakat keciL "Pemerintah harus mengkaji kembali klausul mengenai kepemilikan properti asing di dalam RUU Rusun," saran Ibnu.
.
Liberalisasi Pertanahan
.
Andrinof menambahkan, pemerintah selama ini membiarkan terjadinya liberalisasi pertanahan, sehingga mengakibatkan penyediaan rumah bagi MBR selalu tidak pernah tepat sasaran. "Pemerintah harus berani membatasi kepemilikan lahan bagi pihak swasta," ujar dia.
.
Dihubungi terpisah, pakar perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Jehansyah Siregar mengatakan dibutuhkan sistem kelembagaan yang kuat untuk mencegah liberalisasi di industri properti akibat pemberlakuan kepemilikan properti asing. Untuk itu, Indonesia perlu menyiapkan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk bisa mengadopsi kepemilikan rumah susun oleh orang asing.
.
Sementara itu, koordinator tim perumus RUU Rusun dari pemerintah Sri Hartoyo mengatakan, pihaknya dan DPR belum membahas lagi klausul kepemilikan properti asing dalam RUU itu. Namun, peme rintah berharap RUU Rusun dapat mengatur pemilikan satuan rumah susun oleh orang asing dengan menjaga keselarasan dengan aturan lainnya.
.
http://bataviase.co.id/node/727708
.
JEHAN (tambahan):
.
Kita bukan anti pemilikan properti asing, namun yang kita kritisi itu adalah bagaimana hal ini seharusnya diatur di dalam sistem peraturan dan kelembagaan pelaksanaannya. Urusan yang asal saja tidak bersistem berpotensi mengacaukan banyak aspek lainnya yang terkait.
.
Memaksa menyelipkan pasal properti asing di dalam RUU Rumah Susun berarti mencampur-adukkan dua urusan yang berbeda, yaitu urusan Perumahan Rakyat (People's Housing) dan urusan Industri Properti (Property Industry). Properti asing seharusnya diatur di dalam UU tersendiri yang di negara-negara lain dinamakan Property Law atau juga Real Estate Law. UU ini bukan hanya mengatur fungsi apartemen, tapi juga jenis-jenis properti lain seperti perkantoran dan pertokoan.
.
Kemudian untuk mendukung bisnis properti dan hubungannya dengan perlindungan pemilik properti, diperlukan lagi Undang-undang Pertelaan (Strata Title Law). Sebaiknya UU Pertelaan dipisah tersendiri karena memang banyak aspek yang diatur dan berkaitan pula dengan pengaturan keagrariaan dan aspek legal dari properti. Jika untuk Property Law leading sectornya adalah Perindustrian, maka untuk Strata Title Law leading sectornya adalah BPN. Untuk keduanya mendapat dukungan Kemendagri (perijinan), PU (bangunan gedung) dan Kemenpera (kebijakan alokasi perumahan rakyat dan perumahan komersial), dll.
.
Barulah kemudian RUU Rusun itu harus secara tegas mengatur yang namanya Sistem Penyediaan Perumahan Publik secara utuh yang didukung sistem kelembagaan yang kuat. RUU Rusun harus menjamin sistem pengadaan tanah yang efektif, sistem kerjasama konstruksi yang melibatkan swasta, sistem pemilihan calon penghuni yang tidak akan melenceng dari kelompok sasaran, pengelolaan bangunan dan lingkungan yang efisien, dsb. Dengan demikian Sistem penyediaan ini akan mencegah praktek yang menghasilkan Inkonsentrasi proyek-proyek konstruksi di bidang perumahan dan permukiman seperti terjadi selama ini.  Praktek amburadul inilah yang menghasilkan ribuan unit-unit rusun terlantar, sementara keluarga2 miskin yang membutuhkan rusun semakin banyak tak terpenuhi.
.
Jadi memang produk pengaturan itu jangan dicampur aduk ngga karuan. Titip pasal di sana... titip pasal di sini...? Merasa ok saja hanya karena ada kaitan dan dikait-kaitkan? Bah! Tidak bisa begitulah... Sejak awal sudah harus dipetakan ini urusan apa saja. Ada arsitekturnya, apa pengaturan pokoknya dan siapa leading sectornya? Mau dibawa kemana negara ini kalau semua sistem dibuat hanya mengandalkan insting saja? Apalagi jika ditunggangi kepentingan-kepentingan jangka pendek?
.
Salam,
MJS

Kamis, 16 Juni 2011

Masalah Perumahan Terlalu Banyak

15-06-2011

RUU Rumah Susun

(Kompas, Rabu-15 Juni 2011)
JAKARTA, Kompas-Wakil Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Rumah Susun Muhidin M Said mengakui terlampau banyak persoalan yang membelit kebijakan rumah susun. Kendala itu membuat penyusunan RUU Rumah Susun menjadi alot.
.
Penyusunan RUU Rumah Susun hingga kini masih menimbulkan perdebatan alot terutama terkait kelembagaan penyedia perumahan rakyat. Apalagi, lonjakan kekurangan rumah sudah mencapai 13,6 juta unit pada 2010. Masalah rumah susun terlalu banyak, padahal rumah susun dibutuhkan untuk mengatasi lonjakan kekurangan rumah, ujar Muhidin yang juga Wakil Ketua Komisi V DPR.
.
Ia menambahkan, persoalan perumahan dipicu oleh masalah pembebasan lahan, kendala infrastruktur, dan perizinan. Untuk itu, diperlukan reformasi pertanahan terkait penyediaan rumah susun masyarakat menengah bawah. Panja RUU Rumah Susun kini mengkaji dua opsi terkait kelembagaan penyedia perumahan rakyat.
.
Opsi pertama, pembentukan badan baru penyedia perumahan rakyat yang bertanggung jawab langsung kepada presiden atau menteri perumahan rakyat.
.
Kedua, penguatan Perum Perumnas agar menjadi pelaku utama penyediaan perumahan rakyat. Perumnas sebagai BUMN yang puluhan tahun menggarap perumahan harus direvitalisasi dan diperkuat perannya menyediakan rumah rakyat melalui dukungan perolehan lahan dan insentif pemerintah.
.
Secara terpisah, pengamat perumahan Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar mengemukakan, RUU Rumah Susun harus mampu menjawab kebutuhan sistem penyediaan rumah publik secara menyeluruh dan bukan sekadar berorientasi pada produksi fisik. Ia menilai, tidak perlu pembentukan badan baru perumahan rakyat karena sudah ada Perumnas. Yang diperlukan justru sinergi lintas kementerian untuk memperkuat Perum Perumnas. Penguatan Perumnas harus memberikan peran lebih ketimbang sekadar konstruksi dan produksi rumah. Penguatan Perumnas perlu diarahkan ke operasionalisasi perumahan rakyat, sumber daya menusia, serta diperkuat aturan sistem penyediaan perumahan rakyat. (LKT)
.
http://www.reidkijakarta.com/rei/web/?mod=news&do=detail&cat=1&id=522
.
Jehan:
Masalah perumahan terlalu banyak??? hehehe...
Sekali lagi, masalah perumahan akan terlalu banyak, dan bahkan bisa lebih banyak lagi, jika penyelenggara negara mengambil peran sebagaimana kontraktor, juragan tanah dan pimpinan proyek melihat urusan konstruksi rumah-rumah. Sedangkan tanggung jawabnya merumahkan seluruh rakyat secara layak. Seharusnya itu, Negara mengambil peran yang lebih stratejik di tingkat pengembangan sistem penyediaan perumahan.

Rabu, 08 Juni 2011

Supervisory Board for Apartments Proposed Under Local Government

BY IM SURYANI

Property

Tuesday, 07 06 2011

JAKARTA (IFT) – The Ministry of Public Housing believes that the supervisory board for apartments, which is still being discussed, should be under the local government as issuers of development permits in the area. With this, local governments will be more active in developing and overseeing the vertical housing  projects.
.
“It is unnecessary to form the supervisory board into a specific national agency. This is where the central government distributes to the local governments their participation in the housing sector,”  said Suharso Monoarfa, Minister for Public Housing, on Monday.
.
The working committee on the regulation on apartments is still debating whether the supervisory board for apartments should be an autonomous agency directly under the President or the Ministry of Public Housing. According to the House of Representatives, these are under the President in developed countries.
.
This supervisory board is expected to coordinate the development of apartments with the community and supervise the construction itself. The government acts only as the national housing regulator to immediately resolve the housing backlog.
.
Several problems deterring the ratification of the law includes the horizontal separation between the status of land acquisition and building, and the pre-sale restrictions before the developer has completed a minimum 20 percent of the project.
.
Housing Reform
.
Jehansyah Siregar, an expert in housing from the Institut Teknologi Bandung, said the housing reform must carry out its function as the national housing agency than by establishing new institutions. This is in line with the idea of the House of Representatives to identify the agency which will be in charge of the construction and supervision of the national housing.
.
“This will coincide with the vertical residential housing unit implementation. The President has also agreed on the plan. In comparison with several successful housing programs in the world, the development should be led by state-owned companies and state ministries should act as supervisors and coordinators of the policy,” Jehansya explained.
.
According to Sunardi, Corporate Director of National Public Housing (Perumnas), the company has begun to develop a new city in Maja, Tangerang, Banten together with a Chinese-based state-owned company Metallurgical Corporation of China Limited, as a consortium.
.
Sunardi added that in the consortium, Perumnas obtained Rp 1 trillion to develop a residential project on a 160 hectare land. This is expected to be completed in two years. “Another project for this year is the development of 20 thousand housing units throughout Indonesia,” he said. (*)

-----------------------------

http://en.indonesiafinancetoday.com/read/6266/Supervisory-Board-for-Apartments-Proposed-Under-Local-Government

Sabtu, 04 Juni 2011

RUU Rusun ditargetkan tuntas Juli

OLEH ANUGERAH PERKASA
SITI NURASIYAH DEWI

Bisnis Indonesia

JAKARTA Panitia Kerja RUU Rumah Susun (Rusun) pada Komisi V DPR tengah membahas sedikitnya lima persoalan terkait dengan penyelesaian peraturan mengenai bangunan hunian tersebut sebelum target penyelesaiannya pada Juli.
Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin M. Said mengatakan sedikitnya terdapat lima persoalan yang masih dibahas oleh Panitia Kerja RUU Rusun sekarang ini. Daftar masalah itu a.l hak atas tanah, persatuan penghuni rumah susun, keterlibatan pemerintah daerah untuk penyediaan tanah, hak dan kewajiban penghuni, badan pengelola berikut pengawas serta kepemilikan orang asing.
"Ini masalah yang masih dibahas oleh Panitia Kerja. Kami menargetkan akan rampung pada masa sidang yang berakhir pada Juli nanti," ujar Muhidin kepada Bisnis di Jakarta, kemarin.
Menurut politisi Fraksi iPartai Golkar tersebut, persoalan hak atas tanah misalnya adalah terkait dengan perdebatan tanah umum dan tanah sewa dalam pembangunan rusun. Di sisi lain, dia menuturkan sebaiknya hak guna atas tanah lebih panjang masanya dibandingkan dengan unit bangunan itu sendiri.
Hal tersebut, sambungnya, selain memberikan peluang bagi pemilik unit yang lama untuk mencari tempat baru, perpanjangan masa guna tanah juga men-datangkan investasi. Misalnya, papar Muhidin, jika unit bangunannya disewa selama 70 tahun, maka tanahnya bisa lebih lama yakni 75 tahun.
"Ini akan menarik bagi investasi. Dengan catatan, pemerintah harus memisahkan pembangunan rusun bagi investor dengan para masyarakat berpenghasilan rendah. RUU ini sebenarnya bertujuan agar masyarakat bawah dapat memiliki unit rusun dengan baik," ujar Muhidin lagi.
Untuk kepemilikan asing, dia mengatakan dengan banyaknya investasi orang asing di bidang properti maka akan menambah devisa bagi negara. Selain itu, sambungnya, bisnis properti akan tumbuh lebih baik lagi ke depannya.
Adapun pemerhati perumahan menilai pengaturan jangka waktu kepemilikan asing terhadap properti di Tanah Air dalam RUU Rumah Susun menjadi 70 tahun terlalu lama manakala hak pakai untuk warga negara Indonesia (WNI) saja hanya 25 tahun.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung M. Jehansyah Siregar mengatakan masalah sebenarnya adalah diperlukannya pembentukan kelembagaan di daerah/ kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI maupun warga negara asing (WNA).
"Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap."


http://bataviase.co.id/node/694896

Rabu, 11 Mei 2011

Resident Union Regulation More Favorable for Developers

Indonesia Finance Today
Tuesday, 26 04 2011
BY MUHAMMAD RINALDI


JAKARTA (IFT) - The government will revise regulations concerning the establishment of union in the apartment dwellers. Later, the developers must release the management authority of the apartment project built and hand it over to the residents association.

Ali Tranghanda, Executive Director of Indonesia Property Watch, said the government should pay more attention to consumer protection regarding the article on flats and apartments residents in the Flats and Apartments Regulation Outline. In reality, the article seems to be weak and gave more benefit to the developers especially on the deadline of the formation of resident union. Voting was determined by unit amount, whereas to reach fair and balanced calculation, regardless of the amount of units controlled by the developer, it should still represent one vote.

Yusuf Yuniarto, Senior Adviser on Spatial Housing, Lands and Settlement, previously promised to tighten the regulations on flats and apartment residents union formation to avoid problems such as conflicting interests and misunderstandings between the occupants and the developer.

Jehansyah Siregar, Residential Observer from Bandung Institute of Technology, said the House of Representatives must be firm in prioritizing the public's interest. “As the initiative rights owner in the law formulation, they should hold on to a clear and firm policy,” Jehansyah said on Monday.

Sectoral Ego

Several issues still delay the discussions on the regulation, such as resident development guarantor and land co-ownership. The different perspectives of the Ministry of Public Housing and General Director of Cipta Karya from the Ministry of Public Works even caused a few projects to be cancelled.

Jehansyah said that basically, these differences were more about each sector’s ego, where both jobs are related with housing and residential matters. “Both government institutions want to manage the  physical construction of the projects,” Jehansyah said.

Saleh Husein, member of the Fifth Commission from the House of Representatives, said the Ministry of Public Housing, Ministry of Public Works and National Land Institute each has its own opinion on whether the land rights will still be controlled by developers or handed over to the occupants. The House of Representatives asked the government to pave way for the discussion first, so the process can run smoothly and quickly. Saleh hopes that the draft of the regulation will be finished after the recess which is about mid-May or early June 2011. (*)

http://en.indonesiafinancetoday.com/read/4713/Resident-Union-Regulation-More-Favorable-for-Developers

Senin, 25 April 2011

Aturan Perhimpunan Penghuni Lebih Menguntungkan Pengembang

BY MUHAMMAD RINALDI

Indonesia Finance Today, Property,
Monday, 25 04 2011

JAKARTA (IFT) – Pemerintah akan merevisi regulasi mengenai pembentukan persatuan penghuni di rumah susun. Nantinya, pengembang harus melepaskan wewenang pengelolaan dari proyek apartemen yang dibangun  dan menyerahkan kepada perhimpunan penghuni.
.
Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, menilai pemerintah seharusnya lebih memperhatikan aspek perlindungan konsumen me­nyangkut pasal perhimpunan penghuni rumah susun dalam penyusunan Rancangan Undang Undang Rumah Susun. Namun kenyataannya, pasal dimaksud ter­kesan lemah dan menguntung­kan pengembang terlebih soal porsi suara maupun jangka waktu (limit akhir) pembentukan  perhimpunan penghuni.
.
“Rancangan Undang-Undang Rumah Susun sangat dangkal sekali, dan cenderung menguntungkan pengembang. Porsi suara pengembang di perhimpunan penghuni masih mendominasi sehingga semua keputusan bisa dikendalikan,” ujarnya, Senin. Kata Ali, perhitungan suara ditentukan berdasarkan jumlah unit. Padahal supaya adil satu nama satu suara, sehingga berapa pun unit yang dikuasai pengembang tetap mewakili satu suara.
.
Sebelumnya, Yusuf Yuniarto, Staf Ahli Menteri Perumahan Rakyat Bi­dang Tata Ruang, Pertanahan dan Permukiman berjanji akan memperketat aturan mengenai pembentukan perhimpunan penghuni rumah susun di hunian bertingkat guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik dan kesalahpahaman di antara penghuni dengan pengembang.
.
Pasal mengenai perhimpunan penghuni rusun masih belum tuntas dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun. Me­nurut Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung, adanya perbedaan tersebut karena adanya tarik-menarik kepentingan proyek birokrasi. “Dewan Perwakilan Rakyat harus bersikap tegas dengan me­nge­depankan kepentingan masya­rakat. Sebagai pemilik hak inisiatif dalam perumusan undang-undang ini, Dewan Perwakilan Rakyat seha­rusnya berpegang pada arah kebijakan yang jelas dan tegas,” katanya, Senin.
.
Ego Sektoral
.
Sejumlah persoalan memang masih mengganjal pembahasan Rancangan Undang-Undang Ru­­mah Susun seperti soal pe­nanggung­jawab pembangunan pe­ru­mahan dan soal kepemilikan tanah bersama. Perbedaan yang terjadi antara Kementerian Perumahan Rakyat dan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum bahkan menjadi penyebab gagalnya sejumlah proyek seperti rumah susun sederhana.
.
Pada dasarnya, kata Jehansyah, perbedaan ini lebih dilatarbelakangi ego sektoral masing-masing, dimana tugas keduanya berkaitan dengan urusan perumahan dan permukiman. “Dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun, kedua instansi tersebut punya keinginan untuk mengelola proyek-proyek fisik konstruksi,” katanya.
.
Saleh Husein, Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Badan Pertanahan Nasional juga masih berbeda pendapatan apakah hak tanah tetap dikuasai pengembang atau diserahkan kepada penghuni rumah susun. Dewan meminta agar pemerintah menyamakan cara pandang dulu sehingga proses pembahasan bisa berjalan lancar dan cepat. Dengan penyamaan persepsi ini, Saleh berharap rancangan regulasi itu selesai usai reses yakni sekitar pertengahan Mei atau awal Juni 2011. (*)
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/6709/Aturan-Perhimpunan-Penghuni-Lebih-Menguntungkan-Pengembang



JEHAN:

Ini dia hasil pembonsaian Perumnas dan absennya public housing delivery system, akibat memelihara birokrasi rente. Akhirnya semua elemen bangsa ini mengurus banyak hal yang sangat tidak stratejik. Mulai dari isu apartemen asing, hunian berimbang, perhimpunan penghuni, sd rusunawa berhantu.

Di negara maju, public housing berkembang, Perumnas nya maju sebagai pemimpin industri properti, dan masyarakat kelas menengah terbangun. Karir regulasi pun berkembang: dari housing law -> public housing law -> new town development law -> property law -> strata title law. Pada gilirannya, kapasitas kelembagaan kota terbangun, konsil kota mengurus tetek bengek beginian, beres. Di negara ini para pejabat dan legislator semua bicara dan bertindak pakai logika awam.