Jumat, 18 November 2011

Menaikkan Harga Rusunami Hanya Asal-asalan

Pendapatan Jadi Pertimbangan

(Bisnis Indonesia, Jumat-18 Nopember 2011)
JAKARTA: Rencana pemerintah menaikkan harga patokan rumah susun sederhana milik (rusunami) bersubsidi dinilai sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya tanpa mengevaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya.
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan pertimbangan pemerintah menaikkan harga rusunami hanya untuk menyesuaikan kenaikan inflasi, harga bahan bangunan, dan untuk mendorong partisipasi pengembang. Jelas itu bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum, tutur Jehansyah. Menurutnya, perumahan rakyat itu tidak sama dengan bisnis properti. Artinya, bisa saja bisnis properti maju berkembang, tetapi pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka jumlah kekurangan rumah (housing backlog) makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz memperkirakan penaikan harga rusunami bisa mencapai 20% dengan asumsi laju inflasi 5% selama 4 tahun terakhir.
Jehansyah memaparkan banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat. Pertama, banyak pemilik rusunami bukan pemakai langsung (end user) dari kalangan menengah bawah, tetapi spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian disewakan.
Kedua, pembangunan rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja.
Akhirnya menemui banyak sekali kendala perizinan lokasi, yang artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya yang mengakibatkan tata ruang kota semakin berantakan.
Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan koefisien lantai bangunan (KLB), proporsi rusunami bersubsidi dan nonsubsidi tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas. Pada dasarnya, kendala dan kegagalan rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan yakni sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system), paparnya.
Kelompok sasaranSementara itu, Kementerian Perumahan Rakyat akan mengkaji rencana kenaikan rusunami dengan mempertimbangkan peningkatan pendapatan masyarakat kelompok sasaran.
Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo mengatakan kenaikan harga rusunami tidak hanya didasarkan pada nilai inflasi, tetapi juga besarnya peningkatan pendapatan masyarakat. Kenaikan harga rusunami belum tentu mencapai 20%, kami akan menghitung juga berapa besaran pendapatan masyarakat kelompok sasaran berdasarkan data BPS, ujarmya. Selain itu, bila berdasarkan kajian dari Kemenpera harga rusunami yang ditawarkan melebihi daya beli masyarakat, instansinya akan memberikan berbagai insentif berupa utilitas, sarana, dan prasarana umum rusunami bagi masyarakat. (Dewi Andriani & Siti Nuraisyah Dewi)

Harga Rusunami Naik, Angka Backlog Membengkak

18-11-2011

(Media Indonesia, Jumat-18 Nopember 2011)
PENAIKAN harga rumah susun sederhana milik (rusunami) akan memicu pembengkakan angka kekurangan (backlog) rumah. Karena itu, pemerintah diminta mengevaluasi kembali rencana menaikkan harga rumah susun milik untuk masyarakat perkotaan kelas menengah ke bawah tersebut. Hal itu dikatakan pengamat perumahan dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar dalam menanggapi rencana Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz yang akan mengerek harga rusunami hingga maksimal 20%.
.
Pertimbangan di belakang penaikan harga rusunami yang sekadar untuk menyesuaikan kenaikan inflasi dan harga bahan bangunan serta untuk mendorong partisipasi pengembang, jelas bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Menurut Jehansyah, penaikan harga rusunami semata-mata demi kepentingan pengembang. Padahal, urusan perumahan rakyat bisnis properti berkembang, namun pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi. Angka housing backlog makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
.
Berdasarkan data Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), angka backlog saat ini sudah mencapai 13,6 juta unit rumah. Melihat angka itu, Jehansyah menilai rencana Kemenpera menaikkan harga rusunami merupakan kebijakan yang dibuat sekenanya. Langkah ini dilakukan tanpa mengevaluasi terlebih dahulu apakah pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum.
Kepala Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan Kemenpera Margustieny Oemar Ali mengatakan karyawan swasta, pegawai negeri sipil, maupun anggota TNI/Polri yang ingin membeli rumah tidak perlu lagi memusingkan uang muka. Kami bekerja sama dengan pihak asuransi sehingga uang muka KPR sebesar 10% ditanggung pihak asuransi, paparnya. (NG/Vni/E-3)

http://reidkijakarta.com/rei/web/?mod=news&do=detail&cat=1&id=650

Kamis, 17 November 2011

Kewajiban Pengembang Bangun Rumah Susun Kurang Efektif

Property

Friday, 18 11 2011
.
BY ANNISA MARGRIT
.
JAKARTA (IFT) – Kewajiban bagi pengembang swasta yang membangun apartemen menengah atas untuk membangun rumah susun sederhana sebesar 20% dari total unit apartemen yang dibangun diperkirakan kurang efektif untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan berpotensi mem­buka peluang korupsi, kata pengamat.
.
Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Tek­nologi Bandung meminta pengembang membangun rumah susun sederhana terlebih dulu se­belum izin pembangunan apartemen menengah atasnya diberikan.  “Pemerintah seharusnya meminta pengembang membangun rumah susunnya dulu, baru kemudian izin lokasi dan pembangunan diberikan,” tegasnya di Jakarta, Kamis.
.
Dia menambahkan kendala pengadaan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan ren­dah adalah karena pemerintah pusat tidak bisa memisahkan kepentingan publik dengan kepentingan bisnis pengembang swasta. Masalah rumah susun, kata Jehansyah, tidak bisa di­selesaikan kalau pemerintah terus memandang keuntungan yang bisa didapat dari penjualan rumah susun. “Padahal, rumah susun murah yang layak huni merupakan kebutuhan publik,” terangnya.
.
Kementerian Perumahan Rak­yat mencatat backlog atau angka kekurangan rumah di DKI Jakarta pada 2011 mencapai 289.318 unit. Backlog didorong kurangnya ke­tersediaan lahan dan tidak efektifnya regulasi yang mengatur penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Solusi untuk mengurangi backlog di Jakarta adalah pembangunan hunian vertikal, seperti rumah susun,” katanya. Iwan Kurniawan, Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan ada dua kebijakan jangka panjang yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah terkait perumahan dan permukiman di Jakarta.
.
Dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta 2011 hingga 2030, pemerintah daerah akan mengembangkan Jakarta melalui pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak, serta mengarahkan perkembangan kawasan perumahan sesuai dengan karakteristik kawasan. Dengan kata lain, ujar Iwan, ke depannya pemerintah daerah akan mendorong pembangunan kawasan mixed-use dan perumahan vertikal.(*)
.
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/18182/Kewajiban-Pengembang-Bangun-Rumah-Susun-Kurang-Efektif

Rencana kenaikan harga rusunami menuai kritik

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Kamis, 17 November 2011 | 14:01 WIB

JAKARTA: Rencana pemerintah melalui Kementrian Perumahan Rakyat untuk menaikkan harga patokan rumah susun sejahtera milik (rusunami) bersubsidi dinilai sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya tanpa mengevaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya.

Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan pertimbangan pemerintah hanya untuk menyesuaikan kenaikan inflasi, harga bahan bangunan, dan untuk mendorong partisipasi pengembang.

“Jelas itu bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi pola pengadaan rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum,” tutur Jehansyah melaui surat elektronik yang diterima Bisnis, hari ini.

Menurut Jehansyah perumahan rakyat itu tidak sama dengan bisnis properti. Artinya, bisa saja bisnis properti maju berkembang, tetapi pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka housing backlog (jumlah kekurangan rumah) makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.

 Jehansyah memaparkan banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat. Pertama, banyak pemilik rusunami bukan end user dari kalangan menengah bawah, tetapi spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian disewakan.

Kedua, pembangunan rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja. Akhirnya menemui banyak sekali kendala perijinan lokasi, yang artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya yang mengakibatkan tata ruang kota semakin berantakan.

Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan koefisien lantai bangunan (KLB), proporsi rusunami bersubsidi dan nonsubsidi tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas.

“Pada dasarnya, kendala dan kegagalan Rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan yakni sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system),” paparnya.

Jehansyah menjelaskan pemerintah cenderung mau enak saja mengutak-atik harga patokan dan membuat berbagai ketentuan yang tidak akan pernah efektif dalam penerapannya. Menurutnya memang kerja seperti ini banyak komisi atau rentenya, tetapi tentu bukan itu yang diinginkan rakyat.

Pengembang, sambungnya, tidak sepatutnya disalahkan karena tujuan mereka memang mencari keuntungan. “Yang salah adalah ketika pemerintah meminta swasta menjalankan peran sektor publik yang seharusnya dijalankannya. Kesalahan mendudukkan peran ini mengakibatkan program perumahan tidak akan pernah efektif mencapai tujuan merumahkan rakyat dan hanya memfasilitasi bisnis properti saja,” ungkapnya.

Dia menambahkan subsidi yang diberikan pemerintah hanya merampas peluang pemasukan keuangan negara karena akhirnya hilang masuk ke pusaran pasar properti. (faa)
http://www.bisnis.com/articles/rencana-kenaikan-harga-rusunami-menuai-kritik

------------------------------------------------------------


RENCANA KENAIKAN HARGA RUSUNAMI HANYA UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANG

Wednesday, 16 November 2011 09:44
Jakarta, 16/11/2011 (Kominfonewscenter) – Rencana pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menaikkan harga patokan rumah susun sederhana milik (Rusunami) bersubsidi sungguh-sungguh sebuah kebijakan yang dibuat sekenanya.

“Langkah ini dilakukan tanpa mengevaluasi lebih dahulu apakah pola pengadaan Rusunami sebelumnya sudah berhasil atau belum”, kata Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D Housing and Settlements Research Group, ITB Selasa (15/11).
Jehansyah mengatakan pertimbangan di belakangnya sekedar untuk menyesuaikan kenaikan inflasi dan harga bahan bangunan serta untuk mendorong partisipasi pengembang, jelas bukan pertimbangan penting dari perspektif perumahan rakyat.
”Ini semata demi kepentingan pengembang dan bisnis properti belaka”, kata Jehansyah.
Padahal urusan perumahan rakyat itu tidak persis sebangun dengan bisnis properti, artinya bisa saja bisnis properti maju berkembang, namun pada saat yang sama kebutuhan perumahan rakyat semakin tidak terpenuhi, angka housing backlog makin tinggi dan permukiman kumuh semakin meluas.
Menurut Jehansyah bila dievaluasi secara umum, hasil pembangunan Rusunami periode sebelumnya menemui banyak kendala dan kegagalan dari perspektif perumahan rakyat.
Pertama, banyak kelompok sasaran yang tidak mengena secara efektif. Banyak pemilik Rusunami bukan end-user dari kalangan menengah bawah, melainkan para spekulan yang menunggu harga naik atau investor properti atau landlord yang kemudian menyewa-nyewakannya, akibatnya banyak keluarga muda kelas menengah bawah yang tetap terlantar.
Kedua, pembangunan Rusunami yang dimotori swasta cenderung memilih lokasi berdasarkan tanah yang dapat diusahakan pengembang saja, akhirnya menemui banyak sekali kendala perijinan lokasi, artinya kurang direncanakan pada kawasan yang sesuai dengan tingkat kepadatan bangunan dan daya dukung prasarananya, dan akibatnya tata ruang kota semakin berantakan.
Ketiga, pihak pengembang seringkali melanggar berbagai ketentuan seperti kelompok sasaran, ketentuan KLB, proporsi rusunami bersubsidi dan non-subsidi, dan sebagainya, tanpa ada sanksi yang bisa diberikan secara tegas karena memang aset tersebut miliknya.
“Kegagalan dan berbagai kendala mekanisme pengadaan Rusunami inilah yang seharusnya dievaluasi. Bukan seolah-olah tidak ada masalah dan sekenanya saja ingin menetapkan harga patokan harus dinaikkan”, kata Jehansyah.
Jehansyah menambahkan pada dasarnya kendala dan kegagalan Rusunami ini dikarenakan pemerintah tidak mau bekerja keras membangun kapasitas dan sistem kelembagaan penyediaan perumahan, dalam hal ini adalah sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system).
Pemerintah cenderung mau enak saja mengutak-atik harga patokan dan membuat berbagai ketentuan yang tidak akan pernah efektif dalam penerapannya.
Memang kerja seperti ini banyak komisi atau rentenya, namun tentu bukan itu yang diinginkan rakyat.
“Kita tidak sepatutnya pula menyalahkan pengembang, karena dapat dipahami tujuan mereka memang mencari untung”, kata Jehansyah, seraya menambahkan yang salah adalah ketika pemerintah meminta swasta menjalankan peran sektor publik yang seharusnya dijalankannya.
Kesalahan mendudukkan peran ini mengakibatkan program perumahan tidak akan pernah efektif mencapai tujuan merumahkan rakyat dan hanya memfasilitasi bisnis properti saja.
Sedangkan berbagai subsidi PPn, BPHTB, prasarana, dan sebagainya yang telah diberikan berarti hanya merampas peluang pemasukan keuangan Negara, karena akhirnya hilang raib masuk ke pusaran pasar properti, tak berbekas ibarat menabur garam di laut.
Untuk itu, demi tercapainya amanat UUD1945 Pasal 28H, demi merumahkan seluruh rakyat secara berkeadilan, pemerintah harus segera berbenah diri meninggalkan segala bentuk fasilitasi bisnis properti.
Pemerintah harus kembali ke jalur kebijakan perumahan rakyat sebagai pemimpin pengembangan permukiman skala besar, baik melalui skema kota baru maupun penataan kawasan.
Berbagai kapasitas dan sistem kelembagaan perumahan rakyat di sektor publik perlu segera dipupuk dan dibangun (Public Housing dan Community Housing Delivery Systems).
“Mulai sekarang juga ! Reformasi dan penguatan Perumnas menuju NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) harus menjadi agenda utama, tegas Jehansyah.
Demikian pula Perumda-perumda atau LHUDC segera didorong melalui berbagai skema kemitraan.
Konsolidasi dan pemanfaatan lahan-lahan BUMN dan Instansi Negara untuk perumahan rakyat harus dilakukan bersamaan dengan pembenahan transportasi kota untuk mencapai struktur ruang yang efisien dan produktif dari kota-kota besar di tanah air.
Pembangunan perumahan dan perkotaan yang dipimpin sektor publik (public sector led) dengan memimpin para pihak lainnya sehingga efisien dan terencana dengan baik, adalah kunci kemajuan pembangunan ekonomi.
”Pengalaman berbagai Negara maju di Asia sudah membuktikan hal ini”, kata Jehansyah. (mm)


http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1725:rencana-kenaikan-harga-rusunami-hanya-untuk-kepentingan-pengembang&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53

Kamis, 10 November 2011

Setop Pembangunan Rusunawa


Oleh Eko Adityo Nugroho
JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) karena salah sasaran dan tak mampu memangkas angka selisih permintaan dan pasokan {backlog) yang menembus 13,6 juta unit rumah. Pembangunan rusunawa juga dinilai hanya menghabiskan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Hentikan pembangunan rusunawa saat ini. Pemerintah lebih baik fokus menyediakan rumah murah dan rumah swadaya untuk kurangi backlog-." ujar Ketua Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LP-P3I) Zulfi Syarif Koto kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (2/11).
Selama ini pemerintah membangun rusunawa bagi personel TNI/Polri, pekerja, mahasiswa, dan pesantren di berbagai daerah di Indonesia.
"Pembangunan rusunawa tersebut tidak tepat sasaran, karena tidak bisa atasi backlog. Seharusnya prioritas pemerintah membangun rusunawa adalah untuk rakyat kecil dan pengentasan kawasan kumuh," tambahnya.
Di tempat terpisah, Asisten Deputi Penyediaan Rusun dan Rumah Tapak Kemenpera
Lukman Hakim menuturkan, pemerintah berencana mendirikan 380 twin block (TB) sejak 2010-2012. Sejumlah 35% atau 135 TB akan dibangun untuk TNI, 20% atau 76 TB untuk Polri dan sisanya bagi mahasiswa, pekerja, dan pesantren. Pembangunan hunian vertikal ini akan dihentikan pada 2013 lantaran tak mendapatkan anggaran.
"Rusunawa TNI dan Polri dimaksudkan untuk mengurangi backlog rumah prajurit TNI dan anggota Polri yang mencapai 274.000 unit dan 298.800 unit," ujarnya.
Berdasarkan rencana strategis (renstra) Kemenpera 2010-2014, pembangunan rusunawa pada 2010 semestinya mencapai 100 TB, pada 2011 sebesar 100 TB, dan 180 TB pada 2012. Adapun, total alokasi anggaran untuk dua periode pertama mencapai Rp 2,4triliun sedangkan pada 2012 sebesar Rp 2,16 triliun. Pada kenyataannya, pembangunan baru rusunawa sepanjang 2010 hanya 49 TB seni Iai Rp 251,89 miliar dan program luncuran sekitar 12 TB senilai Rp 98,06 miliar.
Bebani APBN
Zulfi menambahkan, pembangunan rusunawa tersebut membebani APBN. Oleh karena itu, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), sebaiknya menggunakan dana pembangunan rusunawa dart APBN untuk membiayai program rumah murah maupun rumah swadaya. Selain itu, dana itu juga diusulkan dipakai untuk pengoptimalan pengelolaan rusunawa yang telah dibangun sejak 2005.
Zulfi menambahkan, dana APBN untuk membangun rusunawa di tahun 2012 dijadikan sebagai biaya penyusunan atau perumusan peraturan yang diamanahkan dalam UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) serta UU Rusun. Di samping itu. digunakan untuk program stimulan peningkatan keswadayaan masyarakat dalam gerakan pengentasan kawasan kumuh di perkotaan.
Pengamat perumahan dan perkembangan perkotaan dari ITB M Jehansyah Siregar sebelumnya mengatakan, pembangunan rusunawa yang dilakukan oleh Kemenpera dan Kementerian Pekerjaan Umum perlu diduga ada praktik korupsi di dalamnya.

http://bataviase.co.id/node/859888