Kamis, 27 Oktober 2011

Kepemilikan asing hanya sebatas hak pakai



OLEH SITI NURAISYAH DEWI Bisnis Indonesia

JAKARTA DPR mengungkapkan aturan kepemilikan asing di sektor properti di Tanah Air akan dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan lebih mengarah pada hak pakai, bukan hak guna bangunan."Aturan kepemilikan asing yang akan diatur dalam PP nantinya hak pakai bangunan selama 30 tahun yang dapat diperpanjang selama 20 tahun dan 20 tahun lagi. Tidak bisa langsung hak pakai selama 70 tahun karena akan melanggar UU Pokok Agraria," tutur Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin kepada Bisnis, Selasa.Menurut dia, adanya aturan tersebut diharapkan dapat memberikan peluang bagi kepemilikan .(sing, sambil menanti rampungnya irpvisi UU Pokok Agraria.
.
Direktur PT Ciputra Property Tbk Aii.ulin.ii.i Djangkar mengatakan pemerintah memang seha-rusnya mengeluarkan peraturan terkait dengan kepemilikan asing seperti ketentuan jenis properti apa, di mana lokasinya, dan harga, sehingga warga negara asing (WNA) dapat masuk sesuai dengan keinginannya."Kami melihat orang Indonesia dapat mengeluarkan dananya untuk membeli properti ke beberapa negara di luar negeri, se-dangkan orang asing tidak dapat membeli properti Indonesia. Kan ini sayang," ujarnya.
.
Dia menjelaskan peraturan yang ada saat ini WNA diperbolehkan membeli apartemen yang dibangun di atas hak sewa, sementara, jika pengembang membangun apartemen dengan status hak sewa, akan kehilangan pasar dalam negeri sendiri yang lebihmemilih apartemen dengan status hak guna bangunan (HGB). "Dalam satu apartemen juga tidak bisa di atas hak sewa dan di bawahnya HGB, harus pilih salah satu. Kalau diharuskan memilih kami lebih memilih dengan status HGB, sehingga tidak kehilangan kesempatan pasar dalam negeri yang jauh lebih besar."
.
Pakar perumahan dan permu-kiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan masalah kepemilikan asing di sektor properti yang sebenarnya adalah diperlukannya pembentukan kelembagaan di daerah/kota untuk mempermudah sekaligus mengendalikan soal kepenghunian, baik rusun untuk WNI maupun WNA.
.
"Kalau kami lihat kebutuhan pasar asing di properti memang besar, sehingga membutuhkan pola kepenghunian yang lebih mantap. Menurut kami, yang bermasalah bukan pada lamanya waktu hak pakai. Sebelumnya hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang, pada saat perpanjangan inilah prosesnya berbelit-belit dan membutuhkan waktu." Dia menuturkan dari situlah pentingnya perlu dibentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai kepenghunian, menetapkan alokasi peruntukan asing termasuk mendata dan mengurusi perpanjangan hak pakai.
.
http://bataviase.co.id/node/853611

Rabu, 05 Oktober 2011

Gedung Bertingkat Non-Rumah Susun Diiusulkan Diatur Terpisah

Thursday, 06 10 2011

JAKARTA (IFT) - Langkah pemerintah yang memperluas cakupan rumah susun dari sekadar rumah bertingkat untuk kalangan menengah bawah menjadi meliputi juga apartemen mewah, mal, dan perkantoran dalam draf Undang-Undang Rumah Susun dinilai tidak tepat. Pengaturan jenis properti-properti itu seharusnya dibuat dalam undang-undang sendiri yang terpisah dengan regulasi rumah susun.

Pengesahan Undang-Undang Rumah Susun yang diperkirakan pada pertengahan Oktober ini juga dinilai pengamat tergesa-gesa.

“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah berjalan di luar jalur yang diamanahkan konstitusi. Pemerintah diminta memberikan perhatian pada pembangunan rumah bagi warga berpenghasilan rendah, tapi justru sibuk mengurusi pengadaan properti untuk kalangan berpunya,” kata Jehansyah Siregar, pengamat pemukiman dari Institut Teknologi Bandung, di Jakarta, Rabu.

Menurut Jehansyah, pengaturan urusan pembangunan dan penyelenggaraan apartemen mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan di negara-negara lain diatur melalui Undang-Undang Properti atau Undang-undang Real Estat (Property Law atau Real Estate Law). Di Indonesia memang belum ada aturan seperti ini, namun tidak berarti dapat digabungkan dengan undang-undang rumah susun bagi warga berpenghasilan rendah.

Di negara lain, pengaturan gedung bertingkat meliputi jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, termasuk juga urusan kepemilikan di gedung bertingkat  (strata title).

“Namun, bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui undang-undang tersendiri itu lalu mau diatur bersamaan dengan regulasi perumahan rakyat. Tidak bisa begitu,” ujarnya.

Pengaturan tentang gedung bertingkat selain rumah susun, menurut Jehansyah, tidak memiliki kaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Saat ini kebutuhan perumahan rakyat terus membengkak dan semakin sulit dikurangi. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan angka kekurangan (backlog) perumahan mencapai 13,6 juta unit.

Akibat dari salah kaprah pemerintah ini akan berakibat fatal terhadap tata kelola pembangunan perumahan di Indonesia. Menurut Jehansyah, bukan hanya industri properti yang tidak berkembang, namun sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system) tidak akan berkembang. Karena itu, pemerintah dan dewan didesak untuk membuat regulasi sendiri yang terpisah dengan Undang-Undang Rumah Susun untuk mengatur pembangunan dan penyelenggaraan bangunan bertingkat lain di Indonesia.

“Undang-Undang Rumah Susun itu pada dasarnya adalah Public Housing Law, bukan Property Law,” ujarnya.

Zulfi Syarif Koto, Direktur Eksekutif The Housing and Urban Development Institute, mengatakan Undang-Undang Rumah Susun sekarang tidak lagi sesuai dengan perkembangan sektor properti ke depan. Undang-Undang Rumah Susun yang lama tidak mengatur secara tegas tentang hubungan dan hak dasar penghuni rumah susun, baik yang menyangkut keperdataan, kepemilikan, tata guna lahan, perizinan, maupun pelestarian lingkungan.

“Ini memperlambat pengembang hunian vertikal di perkotaan, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” paparnya.

Menurut dia, persoalan utama yang perlu dikritisi adalah menyangkut pengadaan hunian vertikal, perlindungan hak-hak konsumen dan upaya menumbuhkan minat investasi di proyek rumah vertikal. “Selama ini banyak konflik timbul antara pemilik dan penghuni bangunan vertikal baik rumah susun, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Ini tentu tidak dapat diabaikan,” kata Zulfi.

Pemerintah berharap pengesahan Undang-Undang Rumah Susun dapat dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna pada 10 Oktober 2011.

“Kami berharap setidaknya sebulan setelah tanggal tersebut, undang-undang akan ditandatangani oleh presiden, sehingga target penyelesaian undang-undang sebelum akhir tahun ini tercapai,” kata Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan Rakyat.

Menurut dia, dibandingkan regulasi sebelumnya, persoalan Undang-Undang Rumah Susun lebih mudah. Dalam undang-undang yang baru, defenisi rumah susun tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja, namun diperluas menyangkut apartemen menengah dan mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.

“Masalah krusial yang akan dibahas antara lain pemisahan antara ruang vertikal di atas. Apakah itu harus dilekatkan dengan alas hak tanahnya atau dimungkinkan cukup hak guna ruang atau hak pakai ruang,” katanya. (*)

Muhammad Rinaldi


http://www.indonesiafinancetoday.com/read/15664/Gedung-Bertingkat-Non-Rumah-Susun-Diiusulkan-Diatur-Terpisah

Pengesahan RUU Rusun dinilai tergesa-gesa



OLEH SITI NURAISYAH DEWI
ANUGERAH PERKASA

Bisnis Indonesia

JAKARTA Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun pada bulan ini dinilai terlalu tergesa-gesa karena pengaturan beberapa hal yang terkait dengan industri properti dianggap tidak tepat.
M. Jehansyah Siregar, Anggota Tim Visi Indonesia 2033, mengatakan definisi rumah susun di dalam RUU Rusun yang diperluas menyangkut apartemen menengah dan mewah, perkantoran, serta pusat perbelanjaan sudah berjalan di luar jalur semestinya.
.
"Pengaturan urusan apartemen mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan di negara lain diatur melalui UU Properti atau UU Realestat Sayangnya, di Indonesia, .urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri," ujarnya melalui surat elektronik kepada Bisnis kemarin. Menurut dia, di dalam suatu klaster industri properti terdapat banyak kegiatan dan pelaku usaha yang perlu diatur, terutama menyangkut jenis dan transfer kepemilikan, perpajakan, dan jasa broker. Namun, Jehansyah menegaskan bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri itu lantas diatur dengan UU Perumahan Rakyat.
.
"Tidak bisa begitu, semua urusan properti ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat yang urusannya membangun sistem penyediaan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang semakin membengkak dan tidak terpenuhi."
.
Menurut dia, salah kaprah pemerintah itu akan berakibat fatal terhadap tata kelola pembangunan di Tanah Air, yakni bukan hanya industri properti yang tidak akan berkembang, melainkan juga sistem penyediaan perumahan publik yang seharusnya melandasi pembangunan rumah susun publik.
.
Sementara itu, kalangan konsumen menilai RUU Rumah Susun yang segera disahkan itu masih mendukung status quo dengan masih kuatnya hegemoni pengembang terhadap konsumen.
.
Ketua Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia Ibnu Tadji mengatakan pihaknya menghargai upaya yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam menyusun RUU itu, tetapi sayangnya perlindungan konsumen tidak diberikan secara maksimal. "Saya berterima kasih kepada DPR dan pemerintah, tetapi RUU Rusun justru tidak mengatur secara strategis perlindungan terhadap konsumen. RUU ini masih status quo dengan kuatnya hegemoni pengembang," tutur Ibnu.
.
Masih dilibatkan
Dia menjelaskan beberapa hal yang masih mengakomodasi kepentingan pengembang di antaranya masih dilibatkannya pengembang dalam pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Menurut dia, tidak ada penjelasan secara tegas apakah pengembang dapat terus terlibat di dalam PPRS setelah jangka waktu 1 tahun karena pengembang dapat terlibat sementara dalam kurun waktu itu.
.
Selain itu, papar Ibnu. RUU Rusun tidak mengatur masalah pembentukan rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) yang sedianya dapat menjadi wadah pengawasan terhadap PPRS. "RT/RW dapat berfungsi sebagai alat pengawasan terhadap PPRS dan juga merupakan bagian dari budaya masyarakat, tetapi ini tidak ada di dalam RUU Rusun. RUU ini juga tak mengatur secara jelas siapa yang menentukan AD/ART nanti."
.
Direktur Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menegaskan pengembang harus diminta komitmennya untuk mengembangkan rumah susun terutama bagi masyarakat miskin. Menurut dia, boleh saja pengembang membangun rumah mewah, tetapi kompensasinya juga harus ada rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dia menambahkan yang harus diperhatikan adalah komposisi hunian berimbang, yakni terdapat rumah mewah, menengah, dan kecil. "Dalam hal ini, pengembang harus dipaksa untuk membangun rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah, karena kalau tidak, maka tidak ada yang mau membangun," tegas Ali.

http://bataviase.co.id/node/825399

RUU Rusun Dinilai Salah Kaprah

Oleh Eko Adityo Nugroho | Rabu, 5 Oktober 2011 | 13:11

JAKARTA –Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) yang segera disahkan dinilai salah kaprah dan tergesagesa. Hal itu karena kebijakan ini juga mengatur tentang aturan umum di industri properti, seperti pertelaan (strata title). Padahal, RUU Rusun semestinya mengatur tentang kebijakan penyediaan hunian bagi rakyat.

“Di negara-negara maju, persoalan- persoalan seperti jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, dan sebagainya, termasuk juga urusan pertelaan menjadi bagian dalam property law. Tidak dimasukkan dalam aturan-aturan mengenai penyediaan perumahan seperti RUU Rusun ini,” ujar pengamat permukiman dan perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) M Jehansyah Siregar ketika dikonfirmasi Investor Daily dari Jakarta, Senin (3/10).

Menurut dia, pengertian rusun di dalam aturan yang segera disahkan ini juga melebar, tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpendidikan rendah saja. Namun, diperluas menyangkut apartemen menengah mewah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Pengaturan urusan- urusan tersebut di Negara-negara lain diatur melalui Undang-Undang Properti atau Undang- Undang Real Estat (property law atau real estate law).

“Sayangnya urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri. Namun bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri ini lantas mau diatur dengan undangundang perumahan rakyat. Tidak bisa begitu,” jelas dia.


 http://www.investor.co.id/property/ruu-rusun-dinilai-salah-kaprah/21315#Scene_1

Selasa, 04 Oktober 2011

Wah, Diduga Ada Korupsi di Proyek Rusunawa

JAKARTA (bisnis-jabar.com):  Proyek pemerintah  konstruksi menara rumah susun sederhana sewa (rusunawa) diduga telah terjadi korupsi terkait dengan penggelembungan harga sehingga menjadi sangat mahal dan semakin sulit diperoleh oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Peneliti tata kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan pengadaan menara-menara rusunawa sebanyak lebih dari120 menara twin block yang mirip sekali dengan pengadaan Wisma Atlet di Palembang, sangat patut diduga terjadi praktik penggelembungan dana dan “pengijonan” kepada para kontraktor di dalamnya.
.
“Indikasinya adalah harga satu twin block konstruksi rusunawa yang mencapai sekitar Rp13 miliar yang berisi 96 unit itu terlalu mahal. Satu unit konstruksi sekitar Rp140 juta. Harga ini sangat dekat dengan harga unit rusunami Rp144 juta per unit, yang lebih besar, lebih bagus dan sudah termasuk harga tanah,” ujar Jehansyah di Jakarta, hari ini.
.
Dia mengatakan selain sangat rawan terjadinya praktik seperti kasus wisma atlet di Kementerian Perumahan Rakyat, pola pengadaan proyek konstruksi ini akhirnya tidak akan membangun sistem penyediaan perumahan publik lebih baik. Lebih jauh, sambung Jehansyah, adalah target pengurangan angka kekurangan rumah (backlog) rakyat akan semakin menjauh yang hingga tahun lalu mencapai 13 juta unit.
.
Jehansyah meminta agar para penegak hukum untuk memantau secara melekat para pelaku yang diduga terlibat dalam proyek-proyek terkait. Dia juga mengusulkan agar Presiden Yudhoyono dapat benar-benar memilih menteri yang benar-benar sanggup berlari kencang melakukan reformasi perumahan rakyat dalam upaya memenuhi target-target merumahkan seluruh rakyat secara layak.
.
“Hal ini karena pengadaan rusunawa yang dibiayai APBN hingga lebih dari Rp1triliun itu hanya diadakan sebatas melalui proyek konstruksi, tanpa sistem penyediaan perumahan publik yang utuh yang juga sedianya mampu mengapresiasi aset-aset publik,” papar Jehansyah lagi.
.
Kepada sejumlah media, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan dirinya pasrah saja kalau penggantian tersebut benar-benar dilakukan. Dia menuturkan pihaknya akan memfokuskan pada kinerja saja dan meyakini keputusan Presiden merupakan sesuatu yang profesional, bukan faktor ketidaksukaan.(fsi)
.
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/2011/10/wah-diduga-ada-korupsi-di-proyek-rusunawa/
http://www.bisnis-jatim.com/index.php/2011/10/04/wah-diduga-ada-korupsi-di-proyek-rusunawa/

UU RUMAH SUSUN MENGATUR URUSAN PROPERTI ?

Jakarta, 4/10/2011 (Kominfonewscenter) – Pemerintah dan DPR tampaknya begitu tergesa-gesa ingin segera mengesahkan Rancangan UU Rumah Susun pada awal Oktober 2011 ini. Padahal Rancangan Undang-Undang Rumah Susun yang masih berisikan definisi rumah susun yang tidak lagi sebatas pada pembangunan rumah bertingkat untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja, namun diperluas menyangkut apartemen menengah mewah, perkantoran dan pusat perbelanjaan, sudah berjalan di luar jalur yang semestinya.
.
Hal itu dikemukakan Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D anggota Tim Visi Indonesia 2033, dosen SAPPK-ITB, di Jakarta Senin (3/10). Menurut Jehansyah pengaturan urusan-urusan apartemen mewah, perkantoran dan pusat perbelanjaan di negara-negara lain diatur melalui Undang-undang Properti atau Undang-undang Real Estat (Property Law atau Real Estate Law).
.
“Sayangnya urusan ini memang belum diatur di dalam undang-undang tersendiri”, kata Jehansyah.
Di dalam suatu klaster industri property, ada banyak kegiatan dan pelaku yang perlu diatur, terutama menyangkut masalah jenis-jenis kepemilikan, transfer kepemilikan, perpajakan, jasa broker, dan sebagainya, termasuk juga urusan pertelaan (strata title), menjadi bagian urusan industri properti ini. Namun bukan berarti industri properti yang belum diatur melalui UU tersendiri ini lantas mau diatur dengan undang-undang perumahan rakyat. ”Tidak bisa begitu. Semua urusan properti ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan urusan perumahan rakyat, yang urusannya adalah membangun system penyediaan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang semakin terus membengkak tidak terpenuhi”, kata Jehansyah.
.
”Bagaimana mungkin Perumahan Rakyat mengurus soal pertelaan perkantoran dan pusat perbelanjaan? Ini jelas-jelas sudah salah kaprah namanya”, tambah Jehansyah. Menurut Jehansyah akibat dari salah kaprah pemerintah ini akan berakibat fatal dalam tata-kelola pembangunan di tanah air. Bukan hanya industri properti yang tidak akan berkembang, sistem penyediaan perumahan publik (public housing delivery system) yang seharusnya melandasi pembangunan rumah-rumah susun publik, juga tidak akan berkembang, kapasitas lembaga pemerintah juga tidak akan berkembang dalam penyediaan perumahan publik.
.
Perumnas sebagai NHUDC tidak akan berkembang, Pemerintah Daerah tidak akan memiliki model pengadaan perumahan publik yang baik. Sementara kementerian hanya mengadakan proyek konstruksi Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) seperti selama ini, yang mirip dengan pengadaan Wisma Atlet. Akan semakin banyak menara-menara rumah susun yang terlantar dan tidak mengenai sasaran karena tidak adanya landasan aturan mengenai sistem pengadaannya. Yang jelas adalah housing backlog (angka keurangan rumah) yang angkanya sudah melonjak tajam menjadi 13,6 juta unit tidak akan pernah terkejar karena Kementerian Perumahan Rakyat tidak akan fokus mengurus perumahan rakyat.
.
”Jadi, dimohon Pemerintah dan DPR membuat Undang-undang itu yang benar, UU Rusun itu pada dasarnya adalah Public Housing Law, bukan Property Law”, kata Jehansyah. (mydk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1641:uu-rumah-susun-mengatur-urusan-properti-&catid=43:nasional-hukum&Itemid=34