Kamis, 21 Juli 2011

Praktisi justru dukung pengesahan RUU Rusun ditunda

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Bisnis Indonesia
Published On: 21 July 2011
.
JAKARTA: Praktisi dan pemerhati perumahan menilai ditundanya pengesahan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada masa sidang ketiga 2011 merupakan langkah yang baik guna menyempurnakan aturan mengenai Badan Pelaksana Rumah Susun.
.
Anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan saat ini Pasal-Pasal tentang BPRS masih terlalu sederhana sehingga terkesan badan baru tersebut memiliki kekuasaan yang cukup besar.
.
“Lebih bagus memang RUU Rusun belum disahkan terlebih dahulu untuk melengkapkan aturan mengenai Badan Pelaksana Rumah Susun yang saat ini Pasal yang mengaturnya terlalu sederhana, isinya belum diatur,” tutur Jehansyah saat dihubungi Bisnis, hari ini.
.
Namun, Jehansyah menilai dengan ditundanya pengesahan RUU Rusun pada sidang setelah 15 Agustus 2011 nanti menunjukkan penyusunan RUU tersebut belum fokus pada apa yang akan diatur. Seharusnya semangat RUU Rusun dikembalikan pada UU No.16/1985 tentang Rumah Susun dimana pembangunan rusun adalah dalam rangka penyediaan perumahan untuk umum.
.
Lebih lanjut dia menuturkan agar fokus pada apa yang akan dibangun maka perlu dibentuk suatu sistem kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah. Terkait dengan pembentukan BPRS, Jehansyah mengatakan mendukung lembaga tersebut agar ada pemisahan antara regulator dan operasional.
.
“Terbentuknya BPRS memang terobosan dan memicu tarik menarik banyak kepentingan. Kami mendukung revitalisasi Perum Perumnas. Nantinya BPRS dan Perumnas dapat bekerjasama yang paling sinergis yaitu BPRS menyiapkan software dan hardware pembangunan rusun serta pengelolaan rusun setelah dibangun, sedangkan Perumnas berperan untuk menyiapkan kawasan pembangunan perumahan dan infrastruktur dasarnya,” imbuh Jehansyah. (faa)
.
http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/32189-praktisi-justru-dukung-pengesahan-ruu-rusun-ditunda

Badan Pelaksana Rumah Susun Belum Disepakati

PERUMAHAN RAKYAT
Rabu, 20 Juli 2011 | 03:46 WIB
.
Jakarta, Kompas - Penyelesaian Rancangan Undang- Undang Rumah Susun diputuskan untuk diskors hingga Rabu (20/7) ini. Perdebatan substansi RUU Rumah Susun yang belum mencapai titik temu yakni pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun.
.
Keputusan menunda draf final RUU Rumah Susun berlangsung dalam rapat kerja Komisi V DPR dan pemerintah di Jakarta, Selasa (19/7), seusai Panitia Kerja RUU Rumah Susun melaporkan putusan final. Meski ditunda, Panitia Kerja DPR untuk RUU Rumah Susun menargetkan RUU disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (21/7) besok.
.
Rapat kerja RUU Rusun berlangsung alot, diwarnai sejumlah perdebatan sehingga sempat terjadi skors selama lebih kurang 1,5 jam. Panja DPR untuk RUU Rusun menyepakati pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun, tetapi pemerintah meragukan pembentukan badan tersebut.
.
”Ada dua opsi yang harus dituntaskan, yaitu apakah pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun bersifat mandatory (wajib) atau optional (pilihan),” ujar Mulyadi, Ketua Panitia Kerja DPR untuk Rumah Susun dari Fraksi Partai Demokrat.
.
Penundaan pembahasan final RUU Rumah Susun menuai keraguan di kalangan anggota Komisi V DPR karena sangat mepet dengan jadwal Rapat Paripurna DPR tentang persetujuan RUU Rumah Susun.
Pembentukan Badan Pelaksana Rumah Susun tercantum pada RUU Rumah Susun Bab 10 tentang Kelembagaan, yakni Pasal 72, 73, dan 74. Badan tersebut antara lain bertugas melaksanakan pembangunan rumah susun umum dan khusus, serta koordinasi lintas sektor untuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
.
Badan itu juga diarahkan berfungsi memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun, kepenghunian, pengalihan, pemanfaatan, pengelolaan, verifikasi pemenuhan persyaratan calon pemilik dan/ atau penghuni, serta pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun dengan berbagai instansi di dalam dan luar negeri.
.
Ahli perumahan dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, menilai, fungsi badan ini sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan rumah susun yang selama ini berorientasi pada proyek menara-menara rumah susun yang terbukti kerap telantar. (LKT)
.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/20/03460458/Badan.Pelaksana.Rumah.Susun.Belum.Disepakati


Jehan:
BPRS tetap berpotensi menimbulkan dualisme dengan Perumnas. Namun dibandingkan dengan organisasi proyek Rusun yang ada sekarang, BPRS lebih baik karena lebih bertanggung jawab dalam perencanaan lokasi, perencanaan dan penjaringan penghuni dan pengelolaan bangunan dan kawasan, sehingga lebih berpotensi menghindari Rusun terlantar. Untuk itu BPRS perlu terus ditingkatkan kapasitasnya. BPRS tetap perlu bersinergi dengan Perumnas, Pemda, dan lembaga lain (bagian wawancara yg tak dimuat).

Jumat, 08 Juli 2011

Perumnas khawatirkan dualisme peranan dengan BPPRS

Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Published On: 08 July 2011



JAKARTA: Perum Perumnas berharap tidak terjadi dualisme peranan jika pemerintah membentuk Badan Pembangun dan Pengelola Rumah Susun (BPPRS).

Direktur Utama Perum Perumnas Himawan Arief Sugoto mengatakan di negara manapun tidak ada dalam suatu negara terdapat 2 organisasi yang sama sasaran pengembangannya.

“Dengan adanya pembentukan Badan Pembangun dan Pengelola Rusun, peranan Perumnas akan seperti apa kami belum tahu. Yang jelas harus didiskusikan dengan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (KemenBUMN) sebagai pemilik Perumnas,” tutur Himawan saat dihubungi Bisnis, hari ini.

Lebih lanjut Himawan menjelaskan daripada membentuk badan atau lembaga baru, lebih baik pemerintah memberdayakan lembaga yang sudah ada seperti merevitalisasi Perumnas.

Peneliti Tata Kota Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan badan tersebut berpotensi memicu persaingan tidak sehat dengan Perumnas sebagai penyedia perumahan publik, terutama untuk masyarakat berpenhasilan rendah.

Menurut dia dengan adanya potensi persaingan tidak sehat, pembentukan lembaga baru yang diatur di dalam RUU Rusun itu perlu dikaji kembali secara baik. Peranan Badan Pembangun dan Pengelola Rusun, kata dia, akan tumpang tindih dengan apa yang dilakukan oleh Perumnas selama ini.

“Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation,” tutur Jehansyah.(api)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/30421-perumnas-khawatirkan-dualisme-peranan-dengan-bpprs

Rabu, 06 Juli 2011

Ada potensi persaingan tak sehat antar lembaga penyedia perumahan

Oleh Anugerah Perkasa
Published On: 06 July 2011

Bisnis Indonesia

JAKARTA: Badan Pembangunan dan Pengelola Rumah Susun berpotensi memicu persaingan tidak sehat dengan Perum Perumnas sebagai penyedia perumahan publik terutama untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Oleh karena itu diperlukan kematangan dalam kebijakan.


Peneliti Tata Kota ITB Jehansyah Siregar mengatakan rencana pembentukan Badan Pembangunan Rumah seperti yang diatur dalam RUU Rusun perlu dikaji kembali secara baik. Menurutnya, peranan lembaga baru tersebut dapat menyebabkan tumpang tindih dengan apa yang telah dilakukan Perumnas selama ini.

“Perlu dihindari peranan yang tumpang tindih dengan Perumnas yang juga akan direvitalisasi peranannya sebagai the National Human and Urban Development Coorporation,” ujar Jehansyah saat dikonfirmasi Bisnis pada hari ini.

Diketahui, Komisi V DPR RI akhirnya menyepakati dibentuknya lembaga khusus untuk pembangunan perumahan rakyat yang klausulnya dimasukkan dalam RUU Rusun. Lembaga tersebut akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden terkait dengan upaya penyatuan pembangunan rusun sehingga lebih bisa difokuskan.

Menurut Jehansyah, kedua lembaga pembangunan perumahan itu bisa memicu persaingan tidak sehat yang sangat bergantung dengan kematangan kajian konsep kebijakan dan mekanisme penyediaan yang mendasarinya.

Walaupun demikian, dia menuturkan, kemungkinan lainnya juga adalah terjadinya persaingan sehat bahkan melakukan sinergi.

“Sebagai lembaga yang mengelola aset publik, keduanya harus mencari untung dalam aspek tertentu dan secara umum memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Untuk itu diperlukan konsep kebijakan perumahan yang jelas,” ujar Jehansyah.

Dia mengingatkan persoalan lembaga itu juga terkait dengan efektifitas anggaran negara dan efesiensi manajemen aset publik. Selain itu, papar Jehansyah, penyediaan kebutuhan rumah rakyat merupakan taruhannya.

Berdasarkan data BPS, jumlah defisit kebutuhan rumah kian melonjak hingga mencapai 13 juta pada akhir 2010. Ini jauh melonjak dibandingkan dengan backlog pada akhir 2009 yang mencapai sekitar 8 juta.

Panitia Kerja RUU Rusun menilai jika badan ini dibentuk maka pembangunan rusun akan menjadi satu kesatuan dan fokus, tidak terpisah di beberapa kementerian.

Badan itu juga merupakan solusi terhadap aspek perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan seperti misalnya untuk pekerja, maka seharusnya pembangunan rusun ditempatkan pada lokasi yang dekat dengan tempatnya bekerja sehingga dapat mengurangi kemacetan.

Para legislator melihat sedikitnya terdapat empat fungsi badan tersebut yakni membangun rusun, memelihara dan memperbaiki rusun, menjamin verifikasi kepenghunian rusun sehingga penghuni rusun benar-benar tepat sasaran peruntukannya serta melakukan verifikasi lokasi pembangunan rusun.

Selama ini, terkesan pembangunan rusun sepertinya tidak boleh di pusat kota serta belum ada peningkatan kualitas dari rusun yang terbangun.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda sebelumnya mengatakan pengelolaan bank tanah di pelbagai daerah sangat minim, bahkan banyak lahan yang justru tidak dimanfaatkan dengan baik. Tak hanya itu, sambungnya, pengelolaan data mengenai bank tanah pun masih sangat kurang.

"Data bank tanah di daerah dikhawatirkan tidak diawasi dengan baik, sehingga banyak menimbulkan sengketa, atau tidak jelas lokasinya," ujar Ali di Jakarta. "Bahkan ada yang telah jelas lokasinya, namun kemudian pindah ke pihak ketiga."

Oleh karena itu, dia menambahkan, perlunya dipertimbangkan kembali dibentuk sebuah lembaga khusus dalam pengelolaan bank tanah beserta datanya. Ali mengungkapkan fungsi lembaga itu tidak hanya pendorong dan pemberi stimulus seperti Kementerian Perumahan Rakyat, melainkan juga menjadi eksekutor mengenai tanah.

Dia mengungkapkan kuatnya otonomi daerah dapat berpotensi tidak berhasilnya pemerintah menyediakan hunian untuk rakyat. Selain itu, papar Ali, diperlukan koordinasi lebih intensif antara pemerintah pusat serta daerah terkait dengan penyediaan lahan untuk hunian tersebut.
(faa)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/30052-ada-potensi-persaingan-tak-sehat-antar-lembaga-penyedia-perumahan-publik

Selasa, 05 Juli 2011

Cegah Liberalisasi di Industri Properti

04 Jul 2011
Investor Daily
Oleh Eko Adityo Nugroho
.
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta pemerintah tidak terburu-buru memasukkan aturan properti asing ke dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) karena akan menyebabkan liberalisasi di industri properti. Pemerintah diharapkan fokus pada upaya penyediaan rumah untuk atasi defisit perumahan sebesar 13,6 juta unit.
.
Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengusulkan tidak memasukkan aturan properti asing dinilai tepat. Usulan tersebut merupakan bentuk keberpihakan DPR terhadap kepentingan rakyat yang membutuhkan tempat tinggal. Menurut peneliti kebijakan publik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago, pemberlakuan properti asing di tengah ketidakmampuan pemerintah menjamin ketersediaan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa mengancam pasokan tempat tinggal bagi masyarakat Pemberlakuan aturan itu akan menyebabkan harga rumah semakin tidak terjangkau, sehingga menyulitkan MBR memiliki tempat tinggal.
.
"Adanya properti asing secara struktural akan menyebabkan harga rumah semakin tidak terjangkau, sehingga menyulitkan MBR miliki tempat tinggal. Hal itu juga akan memunculkan monopoli alamiah, meski agak sulit dilihat melalui Undang-Undang Persaingan Usaha," tandas dia saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Minggu (3/7). Kendati demikian, jelas dia, pemberlakuan properti asing tetap perlu diatur dalam perundang-undangan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder, seperti pemerintah, publik, pengembang, dan orang asing. Namun, hal itu mensyaratkan pemerintah sudah berlaku dominan dalam penyediaan tempat tinggal bagi masyarakat kecil."Dalam hal ini pemerintah tidak lagi sebagai fasilitator maupun mediator, melainkan sebagai penyuplai hunian bagi MBR melalui dana dari APBN." tegas Andrinof.
.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh (Aperssi) Ibnu Tadji sebelumnya mengungkapkan, memasukkan klausul kepemilikan properti asing di dalam RUU Rusun akan membuka pintu liberalisasi properti di Indonesia dan mengancam pasokan tempat tinggal bagi MBR. Liberalisasi ini akan memicu harga properti dan lahan menjadi amat tinggi yang pada akhirnya mempersempit akses masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal. "Kondisi seperti itu pernah terjadi di Tiongkok- Harga-harga properti di sana naik signifikan hingga mencapai 10 kali lipat Masyarakat pun hampirtidak mungkin memiliki tempat tinggal. Karena itu, kalau bisa aturan itu tidak dimasukkan sama sekali," paparnya.
.
Pemerintan, sambungnya, tidak akan dirugikan akibat tidak memberlakukan aturan properti asing di Indonesia. Pemerintah justru diuntungkan karena akan tetap dapat membeli lahan yang dapat digunakan untuk membangun hunian bagi masyarakat keciL "Pemerintah harus mengkaji kembali klausul mengenai kepemilikan properti asing di dalam RUU Rusun," saran Ibnu.
.
Liberalisasi Pertanahan
.
Andrinof menambahkan, pemerintah selama ini membiarkan terjadinya liberalisasi pertanahan, sehingga mengakibatkan penyediaan rumah bagi MBR selalu tidak pernah tepat sasaran. "Pemerintah harus berani membatasi kepemilikan lahan bagi pihak swasta," ujar dia.
.
Dihubungi terpisah, pakar perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Jehansyah Siregar mengatakan dibutuhkan sistem kelembagaan yang kuat untuk mencegah liberalisasi di industri properti akibat pemberlakuan kepemilikan properti asing. Untuk itu, Indonesia perlu menyiapkan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk bisa mengadopsi kepemilikan rumah susun oleh orang asing.
.
Sementara itu, koordinator tim perumus RUU Rusun dari pemerintah Sri Hartoyo mengatakan, pihaknya dan DPR belum membahas lagi klausul kepemilikan properti asing dalam RUU itu. Namun, peme rintah berharap RUU Rusun dapat mengatur pemilikan satuan rumah susun oleh orang asing dengan menjaga keselarasan dengan aturan lainnya.
.
http://bataviase.co.id/node/727708
.
JEHAN (tambahan):
.
Kita bukan anti pemilikan properti asing, namun yang kita kritisi itu adalah bagaimana hal ini seharusnya diatur di dalam sistem peraturan dan kelembagaan pelaksanaannya. Urusan yang asal saja tidak bersistem berpotensi mengacaukan banyak aspek lainnya yang terkait.
.
Memaksa menyelipkan pasal properti asing di dalam RUU Rumah Susun berarti mencampur-adukkan dua urusan yang berbeda, yaitu urusan Perumahan Rakyat (People's Housing) dan urusan Industri Properti (Property Industry). Properti asing seharusnya diatur di dalam UU tersendiri yang di negara-negara lain dinamakan Property Law atau juga Real Estate Law. UU ini bukan hanya mengatur fungsi apartemen, tapi juga jenis-jenis properti lain seperti perkantoran dan pertokoan.
.
Kemudian untuk mendukung bisnis properti dan hubungannya dengan perlindungan pemilik properti, diperlukan lagi Undang-undang Pertelaan (Strata Title Law). Sebaiknya UU Pertelaan dipisah tersendiri karena memang banyak aspek yang diatur dan berkaitan pula dengan pengaturan keagrariaan dan aspek legal dari properti. Jika untuk Property Law leading sectornya adalah Perindustrian, maka untuk Strata Title Law leading sectornya adalah BPN. Untuk keduanya mendapat dukungan Kemendagri (perijinan), PU (bangunan gedung) dan Kemenpera (kebijakan alokasi perumahan rakyat dan perumahan komersial), dll.
.
Barulah kemudian RUU Rusun itu harus secara tegas mengatur yang namanya Sistem Penyediaan Perumahan Publik secara utuh yang didukung sistem kelembagaan yang kuat. RUU Rusun harus menjamin sistem pengadaan tanah yang efektif, sistem kerjasama konstruksi yang melibatkan swasta, sistem pemilihan calon penghuni yang tidak akan melenceng dari kelompok sasaran, pengelolaan bangunan dan lingkungan yang efisien, dsb. Dengan demikian Sistem penyediaan ini akan mencegah praktek yang menghasilkan Inkonsentrasi proyek-proyek konstruksi di bidang perumahan dan permukiman seperti terjadi selama ini.  Praktek amburadul inilah yang menghasilkan ribuan unit-unit rusun terlantar, sementara keluarga2 miskin yang membutuhkan rusun semakin banyak tak terpenuhi.
.
Jadi memang produk pengaturan itu jangan dicampur aduk ngga karuan. Titip pasal di sana... titip pasal di sini...? Merasa ok saja hanya karena ada kaitan dan dikait-kaitkan? Bah! Tidak bisa begitulah... Sejak awal sudah harus dipetakan ini urusan apa saja. Ada arsitekturnya, apa pengaturan pokoknya dan siapa leading sectornya? Mau dibawa kemana negara ini kalau semua sistem dibuat hanya mengandalkan insting saja? Apalagi jika ditunggangi kepentingan-kepentingan jangka pendek?
.
Salam,
MJS