Senin, 25 April 2011

Aturan Perhimpunan Penghuni Lebih Menguntungkan Pengembang

BY MUHAMMAD RINALDI

Indonesia Finance Today, Property,
Monday, 25 04 2011

JAKARTA (IFT) – Pemerintah akan merevisi regulasi mengenai pembentukan persatuan penghuni di rumah susun. Nantinya, pengembang harus melepaskan wewenang pengelolaan dari proyek apartemen yang dibangun  dan menyerahkan kepada perhimpunan penghuni.
.
Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, menilai pemerintah seharusnya lebih memperhatikan aspek perlindungan konsumen me­nyangkut pasal perhimpunan penghuni rumah susun dalam penyusunan Rancangan Undang Undang Rumah Susun. Namun kenyataannya, pasal dimaksud ter­kesan lemah dan menguntung­kan pengembang terlebih soal porsi suara maupun jangka waktu (limit akhir) pembentukan  perhimpunan penghuni.
.
“Rancangan Undang-Undang Rumah Susun sangat dangkal sekali, dan cenderung menguntungkan pengembang. Porsi suara pengembang di perhimpunan penghuni masih mendominasi sehingga semua keputusan bisa dikendalikan,” ujarnya, Senin. Kata Ali, perhitungan suara ditentukan berdasarkan jumlah unit. Padahal supaya adil satu nama satu suara, sehingga berapa pun unit yang dikuasai pengembang tetap mewakili satu suara.
.
Sebelumnya, Yusuf Yuniarto, Staf Ahli Menteri Perumahan Rakyat Bi­dang Tata Ruang, Pertanahan dan Permukiman berjanji akan memperketat aturan mengenai pembentukan perhimpunan penghuni rumah susun di hunian bertingkat guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik dan kesalahpahaman di antara penghuni dengan pengembang.
.
Pasal mengenai perhimpunan penghuni rusun masih belum tuntas dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun. Me­nurut Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung, adanya perbedaan tersebut karena adanya tarik-menarik kepentingan proyek birokrasi. “Dewan Perwakilan Rakyat harus bersikap tegas dengan me­nge­depankan kepentingan masya­rakat. Sebagai pemilik hak inisiatif dalam perumusan undang-undang ini, Dewan Perwakilan Rakyat seha­rusnya berpegang pada arah kebijakan yang jelas dan tegas,” katanya, Senin.
.
Ego Sektoral
.
Sejumlah persoalan memang masih mengganjal pembahasan Rancangan Undang-Undang Ru­­mah Susun seperti soal pe­nanggung­jawab pembangunan pe­ru­mahan dan soal kepemilikan tanah bersama. Perbedaan yang terjadi antara Kementerian Perumahan Rakyat dan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum bahkan menjadi penyebab gagalnya sejumlah proyek seperti rumah susun sederhana.
.
Pada dasarnya, kata Jehansyah, perbedaan ini lebih dilatarbelakangi ego sektoral masing-masing, dimana tugas keduanya berkaitan dengan urusan perumahan dan permukiman. “Dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Susun, kedua instansi tersebut punya keinginan untuk mengelola proyek-proyek fisik konstruksi,” katanya.
.
Saleh Husein, Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Badan Pertanahan Nasional juga masih berbeda pendapatan apakah hak tanah tetap dikuasai pengembang atau diserahkan kepada penghuni rumah susun. Dewan meminta agar pemerintah menyamakan cara pandang dulu sehingga proses pembahasan bisa berjalan lancar dan cepat. Dengan penyamaan persepsi ini, Saleh berharap rancangan regulasi itu selesai usai reses yakni sekitar pertengahan Mei atau awal Juni 2011. (*)
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/6709/Aturan-Perhimpunan-Penghuni-Lebih-Menguntungkan-Pengembang



JEHAN:

Ini dia hasil pembonsaian Perumnas dan absennya public housing delivery system, akibat memelihara birokrasi rente. Akhirnya semua elemen bangsa ini mengurus banyak hal yang sangat tidak stratejik. Mulai dari isu apartemen asing, hunian berimbang, perhimpunan penghuni, sd rusunawa berhantu.

Di negara maju, public housing berkembang, Perumnas nya maju sebagai pemimpin industri properti, dan masyarakat kelas menengah terbangun. Karir regulasi pun berkembang: dari housing law -> public housing law -> new town development law -> property law -> strata title law. Pada gilirannya, kapasitas kelembagaan kota terbangun, konsil kota mengurus tetek bengek beginian, beres. Di negara ini para pejabat dan legislator semua bicara dan bertindak pakai logika awam.

Sabtu, 23 April 2011

KEMENPERA - PU CIPTA KARYA BEDA PANDANGAN SUBSTANSI RUSUN

SELECTED NEWS

Saturday, 23 April 2011 15:13

Jakarta, 23/4/2011 (Kominfonewscenter) – Anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi Hanura Saleh Husin mengemukakan, pengesahan RUU Rusun kemungkinan tidak akan dilakukan pada waktu dekat karena proses pembahasan masih dalam tahap awal. Hal itu dikemukakan Saleh Husin pada diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota: Mau Kemana?” diadakan Tim Visi Indonesia 2033 di Jakarta, Rabu (20/4).

Menurut Saleh Husin dalam pembahasan RUU Rusun, antara Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU-Cipta Karya) masih belum sepakat mengenai beberapa substansi tentang rusun sehingga sidang pembahasan selalu diskors untuk menyamakan persepsi di antara dua lembaga tersebut.

Anggota Tim Visi Indonesia 2033 M. Jehansyah Siregar, Ph.D mengatakan perbedaan pandangan kedua instansi pemerintah pusat ini dalam pembangunan rumah susun sederhana sebenarnya sudah berlangsung lama dan selalu terjadi tumpang tindih di lapangan. Pada dasarnya perbedaan ini lebih dilatarbelakangi oleh ego sektoral masing-masing, dimana tugas keduanya memang berkaitan dengan urusan perumahan dan permukiman.

Namun jika dilihat lebih jauh, ada kepentingan birokrasi yang sama dari kedua instansi pusat ini, yaitu keinginan untuk mengelola proyek-proyek fisik konstruksi menara-menara rumah susun sederhana. “Sehingga patut diduga ada motivasi birokrasi rente yang melatar belakangi keduanya”, kata Jehansyah yang juga Dosen pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB (SAPPK-ITB) dan Peneliti di Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (KKPP-ITB).

Tidak mengherankan jika di lapangan kita menyaksikan kedua instansi ini terus saja membangun menara-menara rusunawa melalui organisasi proyek, meskipun hasilnya banyak yang bermasalah karena tidak dilengkapi utilitas listrik dan prasarana air bersih. Kekurangan lainnya adalah minim atau bahkan tidak adanya berbagai fasos dan fasum seperti sekolah, puskesmas, terminal maupun pasar tradisional yang melengkapi menara-menara rusunawa tersebut.

“Bisa dimengerti mengapa masyarakat sasaran enggan menempatinya dan akhirnya ribuan unit rusunawa tersebut mangkrak tidak dihuni”, kata Jehansyah. Menurut Jehansyah hal itu jelas tindakan penyia-nyiaan anggaran Negara, namun sungguh ironis, menara-menara tersebut terus saja dibangun. Sulit mencari penjelasan lain selain latar belakang kepentingan birokrasi untuk tetap menjalankan proyek-proyek konstruksi tersebut.

Untuk tetap bisa menjalankan operasional proyek, kedua instansi ini akhirnya sepakat untuk membagi-bagi kelompok sasaran. Bagi PU-Cipta Karya yang memiliki hubungan dengan dinas pekerjaan umum di pemerintah daerah mendapat sasaran kelompok masyarakat permukiman kumuh. Sedangkan Kemenpera yang karena ketiadaan instansi dinas terkait, mendapat bagian yang tidak secara langsung berhubungan dengan Pemda, yaitu rusunawa untuk mahasiswa perguruan tinggi, pesantren, pekerja industri, tentara dan polisi.

Akhirnya yang terjadi adalah pembebanan Pemda dan salah sasaran. Untuk rusunawa yang disediakan PU-CK tetap kesulitan mendapatkan lahan yang layak dan terencana baik dan kesulitan pula memindahkan keluarga-keluarga dari permukiman kumuh. Sedangkan untuk rusunawa yang disediakan Kemenpera terjadi salah sasaran, karena bagaimanapun sasaran prioritas sektor perumahan rakyat adalah keluarga-keluarga berpendapatan rendah dan miskin terutama di perkotaan.

Sebenarnya mahasiswa, santri, dan prajurit, meskipun jelas membutuhkan tempat tinggal, bukanlah sasaran prioritas perumahan rakyat. Asrama mahasiswa dan asrama prajurit seharusnya sudah memiliki alokasi tersendiri di sektornya masing-masing (Diknas dan Hankam). Sedangkan untuk pekerja sebagian besar sudah pula menjadi perhatian Jamsostek (Naker). Belum lagi kejadian salah sasaran yang tidak resmi, akibat pengelolaan rusunawa yang buruk sehingga dapat dipindahtangankan oleh si penghuni.

Jehansyah menyatakan dari berbagai masalah tersebut, hal yang paling pokok dari pembangunan perumahan melalui pendekatan proyek adalah bahwa belanja barang dan jasa di tangan birokrasi kementerian hanya akan dihabiskan saja setiap tahunnya. Akibatnya, belanja negara untuk tanah, bangunan rumah susun, prasarana, utilitas dan fasos-fasum tidak bersinergi menghasilkan kawasan yang berkualitas yang nilainya  semakin terapresiasi.

Jehansyah mengemukakan pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang tinggi di sepuluh metropolitan tanah air harus mendapat jawaban dari pembangunan rumah-rumah susun sederhana di dalam bingkai sistem penyediaan perumahan publik yang responsif. Belajar dari sistem perumahan publik di Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura, sistem penyediaan perumahan publik harus bertumpu pada pilar kelembagaan korporasi publik dalam bentuk BUMN dan BUMD yang profesional.

Melalui lembaga berbentuk korporasi publik ini, anggaran negara dikelola dalam bentuk belanja modal dan bertanggungjawab terhadap apresiasi nilai aset negara, ketepatan kelompok sasaran, pemberdayaan sektor swasta dan masyarakat, pembangunan kelas menengah perkotaan, serta penataan ruang dan pembangunan kota-kota dan wilayah yang berkelanjutan.

Menurut Jehansyah jika memang hanya memiliki kemampuan teknis mengerjakan proyek konstruksi di lapangan, sumberdaya di kementerian sebaiknya dipindahkan ke BUMN Perumnas atau BUMN lainnya. Karena belanja negara berupa proyek konstruksi rumah susun tidak bisa dibiarkan dihabiskan sebagai belanja barang. Harus ada pertangunggjawaban belanja negara untuk tanah, menara rumah susun dan infrastruktur, dalam bentuk kawasan permukiman yang berkualitas dan berkelanjutan.

Kepentingan proyek birokrasi yang melatar-belakangi perbedaan pandangan antara Kemenpera dan PU Cipta Karya, dimana patut diduga hanya ada motif birokrasi rente di belakangnya, hendaknya tidak dibiarkan berlarut-larut begitu saja oleh DPR. ”Sebagai hak inisiatif dalam perumusan RUU Rumah Susun, DPR seharusnya berpegang pada arah kebijakan yang objektif, jelas dan tegas untuk menjawab kebutuhan perumahan rakyat”, kata Jehansyah. (mydk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1307:kemenpera-cipta-karya-pu-beda-pandangan-substansi-rusun&catid=43:nasional-hukum&Itemid=34

http://www.salehhusin.com/news/kemenpera-dan-pu-beda-pandangan-substansi-rusun/

Jumat, 22 April 2011

Regulasi Perumahan Belum Lengkap


Oleh Eko Adityo Nugroho (Investor Daily)

JAKARTA - Regulasi mengenai properti dan perumahan di Indonesia dinilai belum lengkap, sehingga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan.Sejumlah aturan mengenai permasalahan pengelolaan rumah susun, hak kepemilikan properti, dan lain sebagainya saat ini masuk dalam pasal-pasal Undang-Undang No 1/ 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) maupun RUU Rusun.

"Regulasi perumahan masih belum lengkap. Di negara lain sudah ada yang mengatur secara terpisah mengenai pertelaan atau hak kepemilikan bertingkat. Di sini masih diatur dalam UU Agraria. Bahkan, ada juga kebijakan soal Public Housing Law yang di sini belum ada", tutur pemerhati perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) M, Jehansyah Siregar saat diskusi publik Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota Mau ke Mana? oleh Tim Visi Indonesia 2033 di Jakarta, Rabu (20/4).

Untuk itu, dia mengusulkan perlu aturan hukum lain untuk memayungi industri properti dan perumahan di Indonesia. Kebijakan yang perlu dibuat antara lain berupa UU Pertelaan, UU Perumahan Publik, dan lainnya. "Untuk isu strata title, hendaknya jangan dicampur aduk di dalam RUU Rumah Susun ini. Mencontoh pengaturan sejenis di berbagai negara, pengaturan hak berstrata atau pertelaan ini sebaiknya diatur di dalam UU tersendiri yang dinamai UU Pertelaan (Strata Title Law)." jelasnya.

Dia menjelaskan, selain mengatur pertelaan untuk apartemen, UU Pertelaan juga akan mengatur pertelaan perkantoran maupun pertokoan. Di berbagai negara tersebut, model pertelaan untuk apartemen dicontohkan terlebih dahulu di dalam sistem penyediaan perumahan publik yang dijalankan oleh Public Housing Corporation.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria sebelumnya mengatakan, mekanisme hukum di bidang perumahan masih tumpang tindih. Saat ini terdapat UU lain" yang akan direvisi, yakni UU Rusun. Menurutnya, usulan dalam RUU Rusun menjadi bagian dari RUU Perkim yang telah disahkan. "Jika perlu, UU Perkim namanya diganti menjadi UU Perumahan Rakyat agar terintegrasi dengan seluruh masalah perumahan, mulai dari pembiayaan, perizinan, sertifikasi tanah, hingga infrastruktur. UU ini harus menjadi arah kebijakan perumahan yang terintegrasi," kata dia

RUU Rusun

Di tempat yang sama, anggota Komisi V DPR RJ dari Fraksi Hanura Saleh Husin mengungkapkan, pengesahan RUU Rusun kemungkinan tidak akan dilakukan pada bulan depan, lantaran proses pembahasan masih dalam tahap awal. "Masih perlu pembahasan lebih detail lagi, termasuk penyamaan persepsi pemerintah mengenai substansi yang dibahas," katanya.

Menurut dia, dalam pembahasan RUU Rusun yang saat ini tengah digodok, antara Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan Kementerian Pekerjaan Umum masih belum sepakat mengenai beberapa substansi tentang rusun. "Akibatnya, sidang pembahasan selalu diskors untuk menyamakan persepsi di antara dua lembaga tersebut," ucap dia.

Koordinator Tim Kerja Persiapan RUU Rusun Sri Hartoyo mengungkapkan, pembahasan substansi mengenai rusun untuk masyarakat berpenghasilan rendah lebih lama dibahas oleh pemerintah dan DPR dan tidak bisa dalam satu kali masa sidang. Substansi yang alot dibahas antara lain berupa kemudahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapatkan tempat tinggal di hunian vertikal serta masalah kelembagaan ke-penghunian rusun. "Karena itu, pembahasan ini diundur dari jadwal semula, yakni April." katanya.

http://bataviase.co.id/node/648665

Senin, 18 April 2011

Badan Independen Perumahan Perlu Dibentuk

PROPERTI, Senin, 18 April 2011


Jakarta, Kompas - Persoalan kepenghunian rumah susun yang berlarut-larut menegaskan lemahnya sistem penyediaan perumahan publik. Pembentukan badan perumahan rakyat yang independen kian mendesak guna merencanakan dan melaksanakan program perumahan rakyat.

Demikian pandangan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda dan Peneliti Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, saat dihubungi terpisah, Minggu (17/4).

Jehansyah mengemukakan, masalah kepenghunian rumah susun yang berlarut-larut dan hendak diatur dalam RUU Rumah Susun hingga kini belum memberikan arah yang jelas tentang apa yang hendak dilakukan pemerintah dalam mengelola program rumah susun.

Pembentukan badan perumahan rakyat sangat diperlukan untuk membangun perumahan hingga mengelola kepenghunian. Badan tersebut memiliki kewenangan untuk menyediakan lahan, fasilitas, merencanakan penghuni, membangun, mengelola bangunan dan kawasan, serta bertanggung jawab terhadap aset negara tersebut. Lembaga ini juga membeli properti yang hendak dijual, mencari pembeli baru, dan pengendalian bank tanah.

Ali Tranghanda mengemukakan, masih banyak pemerintah daerah yang belum fokus pada penyediaan rumah di wilayahnya. Oleh karena itu, badan independen perumahan rakyat diperlukan untuk merencanakan desain besar perumahan dan operasional bersama dengan semua pemangku kepentingan perumahan. ”Pemerintah tetap berperan sebagai leader program perumahan rakyat, yakni pembuat kebijakan dan pemberi stimulus, tanpa banyak didikte pengembang,” ujarnya.

Menurut Jehansyah, perumahan perkotaan yang tumbuh cepat seiring dengan tingkat urbanisasi sangat membutuhkan pengaturan kepenghunian hak pakai. Ia mencontohkan penyediaan apartemen bagi warga negara asing memerlukan penerbitan hak pakai jangka panjang dan pengendaliannya untuk menghindari terjadinya liberalisasi.

Hak pakai juga diterapkan dalam rumah susun di atas aset tanah negara. Hal ini karena aset milik negara hanya boleh dipakai dan tidak boleh diberikan kepada warga. (LKT)

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/18/05204890/badan.independen.perumahan.perlu.dibentuk

Senin, 11 April 2011

Arah Penyusunan RUU Rusun Tidak Jelas

Arah Penyusunan RUU Rusun Tidak Jelas

BY MUHAMMAD RINALDI
Indonesia Finance Today, Property, Sunday, 10 04 2011
 
JAKARTA (IFT) – Arah penyusunan Rancangan Undang Undang Rumah Susun dinilai tidak jelas dan membuka peluang korupsi dan kolusi. Dewan Perwakilan Rakyat diminta tidak mengulang kesalahan lama, dimana banyak produk peraturan dibuat, namun tidak bisa diaplikasikan di lapangan. Padahal miliar rupiah anggaran negara sudah dihabiskan untuk pembahasan undang-undang tersebut.

“RUU Rusun ini jangan mengulangi kelemahan sistem yang lama. Peraturan dibuat tidak jelas, sumir dan berpotensi merugikan pasar. Akibatnya akan mengganggu bisnis properti,” kata Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung, Jumat.

Menurut dia, UU Rusun seharusnya dibuat untuk mengurangi kekurangan (backlog) kebutuhan rumah. Bagaimana mendorong semua potensi termasuk developer ikut memacu pembangunan perumahan. Namun dengan aturan yang dibuat cenderung membuka peluang-peluang korupsi dan kolusi, baik melalui pengelolaan proyek konstruksi maupun perizinan apartemen.

Salah satu masalah yang belum tuntas dalam perumusan RUU Rumah Susun adalah soal lembaga pelaksana pembangunan dan pengelolaan rumah susun. Seperti banyak diberitakan, rencananya akan dibentuk lembaga baru di bawah kementerian yang berbentuk badan layanan umum.  Itu menunjukkan adanya keengganan untuk merevitalisasi peran BUMN Perumnas, sehingga berpotensi “membonsai” peran perusahaan properti milik publik tersebut.

“Organisasi proyek maupun badan layanan umum sangat jauh dari memadai untuk menjalankan peran pembangunan perumahan terutama untuk masyarakat berpenghasilan menengah bawah. Sifatnya sementara, salurkan dan habiskan,” tegasnya.

Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch mengatakan RUU Rusun seharusnya menyentuh akar persoalan dalam pembangunan perumahan terutama di perkotaan seperti penyediaan lahan, kejelasan hak tanah, pengaturan luas lahan proyek, dan ketinggian bangunan. Selain itu, aturan pembangunan berimbang harus diperjelas, sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam pengadaan perumahan di masa mendatang.

Menurut dia, rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat pasal yang mengatur larangan pre selling project sebelum kondisi konstruksi mencapai 20% misalnya akan menyulitkan pengembang. Penerapan sistem proporsional berdasarkan tahap konstruksi dinilai lebih realistis.

“Dengan pola ini pengembang bisa memungut uang muka kepada konsumen sesuai dengan kondisi konstruksi. Kalau konstruksi sudah 10%, konsumen juga mencicil 10% dan seterusnya. Ini lebih fair,” ujarnya. (*)

Muhammad Rinaldi

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/5971/Arah-Penyusunan-RUU-Rusun-Tidak-Jelas

Jumat, 08 April 2011

Peranan Perumnas Dibonsai

Penulis: Natalia Ririh | Editor: Robert Adhi Kusumaputra
Sabtu, 9 April 2011 | 08:28 WIB
 
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peran Perumnas sejak dibentuk pada tahun 1974 adalah sebagai lembaga pelaksana pembangunan dan pengelolaan perumahan. Saat ini, peranan Perumnas dinilai tidak memiliki otoritas tersebut.

"Perumnas itu perlu didorong sebagai tangan kanan pemerintah dalam hal penyediaan perumahan. Perumnas perlu diberikan keistimewaan dan otoritas untuk menjalankan perannya," kata pengamat properti, Panangian Simanungkalit kepada wartawan ketika ditemui di Kemang Village, Jakarta Selatan, Jumat (8/4/2011).

Menurut Panangian, saat ini peranan Perumnas tidak jelas karena sebagai BUMN diminta mampu menghasilkan untung. Namun, untuk bersaing dalam bidang perumahan kalah dengan dunia properti yang dikuasai para pengembang. "Perumnas itu kalau di negara-negara lain seperti house developing board (HDB), mengurusi rumah-rumah terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Harusnya Perumnas memiliki intervensi tersebut," katanya.

Sementara, menurut pengamat perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, peranan Perumnas saat ini seolah "dibonsai" secara permanen. Terlebih munculnya wacana ada pembentukan lembaga baru dibawah Kemenpera untuk pelaksana pembangunan dan pengelolaan rumah susun.

"Hal ini menunjukkan adanya keenganan merevitalisasi peran Perumnas. Akhirnya keadaan ini menunjukkan tidak adanya keinginan negara mengembangkan sistem penyediaan perumahan publik yang baik," jelas Jehansyah.

Jehan menambahkan, peran public housing tidak sebatas menyalurkan belanja barang dan jasa pemerintah (APBN dan APBD) yang sifatnya sementara, menyalurkan dan menghabiskan. Pengelolaan public housing hanya bisa dijalankan lewat belanja modal (BUMN dan BUMD), karena perannya mengelola aset publik dan bertanggung jawab terhadap apresiasi dan depresiasi aset.


http://properti.kompas.com/index.php/read/2011/04/09/08283924/Peranan.Perumnas.Dibonsai

Kamis, 07 April 2011

Enggan Revitalisasi, Peran Perumnas Dibonsai Permanen

SELECTED NEWS

Tuesday, 05 April 2011 23:45

Jakarta, 5/4/2011 (Kominfonewscenter) – Salah satu masalah yang belum tuntas dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rumah Susun adalah soal lembaga pelaksana pembangunan dan pengelolaan rumah susun, seperti banyak diberitakan rencananya akan dibentuk lembaga baru di bawah kementerian yang berbentuk badan layanan umum.

Anggota KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D. mengemukakan di Jakarta Selasa (5/4), hal itu menunjukkan adanya keengganan untuk merevitalisasi peran BUMN Perumnas, sehingga berpotensi semakin membonsai peran Perumnas secara permanen. Padahal sebenarnya sejak awal dibentuk tahun 1974, BUMN Perumnas ditugaskan untuk melaksanakan peran tersebut.

“Akhirnya keadaan ini menunjukkan tidak adanya keinginan negara ini untuk mengembangkan sistem penyediaan perumahan publik yang baik”, kata Jehansyah, yang juga anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung). Sedangkan target pengurangan backlog dan penyediaan perumahan layak untuk seluruh rakyat hanya bisa dijamin oleh tegaknya apa yang disebut sebagai multi modes of housing delivery systems, meliputi public housing, social housing dan commercial housing delivery systems. Sistem penyediaan perumahan yang harmonis dan sinergis pula yang bisa menjamin iklim usaha dan klaster industri properti hunian yang kondusif.

Jehansyah menyatakan organisasi proyek maupun badan layanan umum sangat jauh dari memadai untuk menjalankan peran public housing karena tugasnya terbatas untuk menyalurkan belanja barang dan jasa pemerintah (APBN dan APBD). Sifatnya sementara, salurkan dan habiskan. Sedangkan pengelolaan public housing hanya bisa dijalankan melalui belanja modal (BUMN dan BUMD) karena perannya untuk mengelola aset publik dan bertanggung jawab terhadap apresiasi dan depresiasi aset.

Seperti di Singapura, Thailand, Korea dan Jepang, lembaga pelaksana pembangunan perumahan publik adalah pilar utama sistem penyediaan perumahan rakyat. Di dalam Undang-Undang Perumahan di Singapura, lembaga tersebut (HDB) berbentuk korporasi (body corporate) dan bersifat permanen (has perpetual succession) sebagai sebuah BUMN (dedicated authority). Demikian pula HCA di Inggris, KNHC di Korea, maupun URA di Jepang, semuanya diatur secara tegas dalam UU Perumahan.

Belajar dari negara-negara tersebut, hendaknya di dalam RUU Rumah Susun diatur pasal-pasal mengenai tujuan, fungsi, kewajiban dan kewenangan dari BUMN Perumahan ini, seperti kewenangan pengadaan tanah, membuat masterplan, membangun apartemen publik, menyewakan atau menjual, mengelola bangunan dan kawasan, kerjasama dengan pihak swasta, membentuk kelompok penghuni, menetapkan harga sewa, menetapkan masa hak pakai, mengatur komposisi kepemilikan asing, membuat peraturan, dan sebagainya.

“Jelas sekali, ini bukan lembaga proyek seperti yang dijalankan pemerintah selama ini dan sudah terbukti menghasilkan rumah-rumah susun yang terlantar dan semakin menjauhkan bangsa ini mencapai rumah layak untuk semua rakyat”, kata Jehansyah. Menurut Jehansyah pembangunan rumah susun sederhana, baik sewa maupun milik (hak pakai jangka panjang), yang dikelola korporasi publik (BUMN Perumahan) akan lebih menjamin akses bagi masyarakat berpendapatan rendah yang menjadi sasaran.

Akses yang luas ini dijamin oleh sebuah divisi khusus untuk penjaringan penghuni (tenant screening division). Selain itu divisi ini juga melakukan kajian kebutuhan perumahan publik secara lebih terinci (public housing need assessment system) di suatu wilayah metropolitan. Sebagai supporting system dalam pengelolaan aset publik, kesemua urusan ini hanya bisa dilakukan oleh korporasi publik secara terpadu dan tidak mungkin dilaksanakan melalui mekanisme proyek-proyek.

Lebih jauh, ketiadaan model pengelolaan rumah susun oleh korporasi publik atau BUMN Perumahan ini akan menimbulkan beragam permasalahan yang berlarut-larut yang tidak akan mampu dikelola oleh organisasi proyek maupun badan layanan umum yang hanya sebatas organisasi penyedia barang dan jasa. Jehansyah menunjuk kasus rumah susun sederhana sewa (rusunawa), tanpa korporasi publik maka pengelolaannya akan terlantar dan berpotensi terus mendepresiasi aset-aset publik. Pengelolaan rusunawa seharusnya menjadi model pengelolaan rusunawa yang baik untuk skema tidak pulih biaya. Sedangkan untuk skema rumah susun sederhana milik (hak pakai jangka panjang), BUMN Perumahan memberikan model pengelolaan yang profesional melalui pelibatan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) secara partisipatif.

Jehansyah menjelaskan model-model pengelolaan public housing ini selanjutnya menjadi acuan bagi pengelolaan fasilitas sejenis dengan status penghunian yang sama, namun pada kasus apartemen yang dibangun oleh pengembang swasta. Pada kasus apartemen kelas menengah dan atas, ketiadaan model pengelolaan dari BUMN Perumahan akan menyebabkan konflik yang berlarut-larut antara penghuni, pengembang dan pemerintah daerah. Pada gilirannya, model BUMN Perumahan akan diikuti oleh daerah, terutama kota-kota metropolitan melalui proses capacity building dan institutional development yang semakin terpupuk melalui pembentukan BUMD-BUMD di bidang perumahan dan pengelolaan kawasan permukiman. (my)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1275:enggan-revitalisasi-peran-perumnas-dibonsai-permanen&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54

Selasa, 05 April 2011

Asosiasi Pengembang Nilai Positif Mundurnya Pengesahan RUU Rusun

Indonesia Finance Today, Tuesday, 05 04 2011

BY MUHAMMAD RINALDI

JAKARTA (IFT) - Pengesahan Rancangan Undang-Udang Rumah Susun yang dijadwalkan 7 April ini dipastikan mundur. Panitia Kerja meminta waktu untuk menyempurnakan standarisasi sejumlah pasal, meski dipastikan tidak akan mengubah substansi draf yang sudah disusun. Pengunduran pengesahan regulasi mengenai gedung bertingkat itu dinilai positif asosiasi pengembang.

Setyo Maharso, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia menegaskan pengesahan undang-undang ini sebaiknya memang tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Karena dikhawatirkan masih ada poin-poin penting yang sebenarnya sulit dilakukan di lapangan.Terlebih, hingga saat ini rekomendasi dari REI terkait penyusunan RUU Rusun juga belum diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat karena masih dalam tahap pematangan akhir.

“Asosiasi menilai masih ada beberapa poin dalam draf RUU Rusun yang belum mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Contohnya pasal yang mengatur tentang pembuatan desain brosur yang tidak boleh dilakukan sebelum pengembang mengantongi izin mendirikan bangunan,” katanya di Jakarta, Selasa.

Aturan tersebut, jelas Setyo, seharusnya bukan domain undang-undang karena terlalu teknis. Selain itu ada pasal lain yang dianggap sebagai domain pemerintah daerah tapi diatur sebagai wewenang pemerintah pusat. Jika dipaksakan, draf ini nanti dikhawatirkan sulit direalisasikan di lapangan. Namun dia enggan menjabarkan lebih lanjut pasal yang dimaksud.

Mulyadi, Ketua Panitia Kerja RUU Rusun memastikan pengunduran pengesahan undang-undang tersebut karena ada beberapa pasal yang masih perlu disempurnakan. Namun dia menegaskan tidak akan ada perubahan substansi dari draf yang sudah disusun.
“Dengan adanya tambahan waktu diharapkan dapat menyempurnakan standarisasi pasal-pasal. Tapi secara substansial sebenarnya sudah selesai, tidak akan ada penambahan poin lagi,”jelasnya kepada IFT, Selasa.

Dihubungi terpisah, Muhidin, anggota Panja RUU Rusun mengatakan diskusi sedikit terhambat pada pembahasan hak dan kewajiban penghuni. “Yang masih jadi masalah bagaimana perlindungan terhadap penghuni. Ini yang belum jelas. Siapa (lembaga) yang bertanggung jawab, siapa yang mengawasi,” terang Muhidin.

Panja optimis pengesahan RUU Rusun dapat dilakukan pada masa sidang selanjutnya yakni sekitar pertengahan Mei atau awal Juni mendatang.

“tanggal 8 Mei ini kami sudah masuk kembali dari reses. Kami akan kebut sehingga masa sidang selanjutnya sudah bisa disahkan,” tandasnya.

Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung menuding beberapa isu yang sempat mengemuka di dalam proses perumusan Undang-undang Rumah Susun semakin banyak yang tidak jelas. Misalnya tentang isu kepemilikan apartemen oleh warga asing yang sempat disebut-sebut akan masuk dalam regulasi tersebut, kini menghilang. Demikian juga soal hak strata title untuk semua hunian vertikal, akhirnya dimentahkan lagi karena tidak punya pegangan kuat ke UU Agraria.

“Dari struktur isinya tampak bahwa RUU Rumah Susun ini lebih menggunakan pendekatan proyek konstruksi, kesannya terlalu teknis. Ada pasal-pasal yang mengatur tipe bangunan, seperti rusun umum, rusun khusus, rusun komersial, dan lain-lain. Ini tidak ubahnya seperti panduan teknis untuk proyek konstruksi saja,” kata Jehansyah.

Dia menilai RUU ini sama sekali tidak menjamin pengembangan sistem penyediaan perumahan, khususnya public housing delivery system. Demikian pula dengan pengaturan kewajiban pengembang swasta untuk menyediakan rumah susun sederhana sebesar 20% dipastikan tidak akan berjalan efektif.

Pengaturan seperti ini. Ujar Jehansyah, sudah pernah diterapkan di DKI Jakarta melalui SK Gubernur No. 540/1990 yang mewajibkan pengembang pemegang Surat Ijin Penunjukan Pemanfaatan Tanah (SIPPT) untuk membangun rumah susun sederhana sebesar 20%. Namun di lapangan, hasilnya nihil. (*)

Im Suryani
Muhammad Rinaldi 

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/5747/Asosiasi-Pengembang-Nilai-Positif-Mundurnya-Pengesahan-RUU-Rusun


Minggu, 03 April 2011

Pembahasan RUU Rusun Berjalan Alot

Oleh Eko Adityo Nugroho
Investor Daily

JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun (RUU Rusun) berjalan alot. Meskipun demikian, pemerintah dan DPR optimistis pembahasannya rampung sebelum reses pada April 2011.

"Pembahasan RUU Rusun hampir rampung. Hanya saja ada beberapa substansi yang menimbulkan pembahasan lebih alot seperti lahan dan badan pelaksana rusun," ucap Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhiddin M Said saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.

Menurut dia, pengaturan lahan untuk pengembangan rusun masih dibahas secara insentif, karena berkaitan dengan bangunan properti yang berdiri di atasnya. Saat ini, jenis hak atas lahan banyak, sehingga harus dipersingkat menjadi hak pakai atau hak sewa. "Kami pikir pembahasan ini akan lebih mudah, ternyata cukup sulit dan menjadi alot," katanya.

Terkait kewajiban pembangunan hunianvertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam satu menara, menurut dia, sedang dalam pembahasan. "Namun yang jelas, pengembang diperbolehkan untuk membangun hu-nian bagi MBR dan apartemen komersial tidak dalam satu menara, tetapi dalam satu kawasan," jelasnya.

Meskipun pemerintah dan DPR menilai UU Rusun dibutuhkan untuk mempercepat penurunan backlog perumahan, sejumlah praktisi dan pemerhati perumahan justru mendesak DPR menunda pengesahannya tahun ini. DPR diminta untuk mengkaji ulang substansinya agar tidak berdampak buruk industri pada properti di Tanah Air.

Ketua Umum Aperssi (Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia) Ibnu Tadji mengatakan, RUU inisiatif DPR tersebut bukannya merevisi UU No 16/1985 tentang Rusun, melainkan mengganti seluruh isi dan filosofi UU tersebut Akibatnya, substansi pembahasan RUU Rusun kian melebar.

"Substansi yang dibahas jadi tak terkendali dan melebar hanya pada masalah kepemilikan properti oleh orang asing hingga melegitimasi hegemoni pengua-saan (berbagai proyek properti) oleh pengembang. Ini tak bisa dibenarkan dan kami sangat kecewa dengan para penggagas RUU Rusun," ujar dia.

Ibnu berharap RUU Rusun bisa mempertegas perlindungan dan hak konsumen serta penyesuaian terhadap kebutuhan adanya rusun campuran yang lengkap dengan kompleks pertokoan, perkantoran, dan fasilitas penunjang lain.


Badan Pengelola

Said mengatakan, lembaga yang menangani pengembangan rusun masih menimbulkan pro kontra. "Apakah harus pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat atau badan ini berdiri sendiri. Pemerintah dan DPR masih membahasnya lebih lanjut" ujarnya. Anggota Komisi V DPR RI Ali Wongso menambahkan, badan ini akan berfungsi sebagai penanggung jawab seluruh pengadaan perumahan, baik vertikal maupun horizontal. Lembaga akan berada di bawah presiden atau di bawah menteri perumahan.

"Wacana pembentukan badan ini mengadopsi sistem badan yang khusus bertanggung jawab dalam pengadaan perumahan rakyat miskin di Turki. Di negara tersebut, badan ini langsung berada di bawah perdana menteri. Sementara jika dipraktikkan di Indonesia, masih perlu perdebatan panjang," katanya.

Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar sebelumnya menuturkan, negara wajib memperkuat sistem lembaga perumahan, jika ingin mengizinkan kepemilikan asing di properti. Tanpa lembaga perumahan yang kuat, implementasi kepemilikan asing hanya , akan memicu liberalisasi perumahan. Atas dasar itu, RUU Rusun menjadi tak berfungsi optimal melindungi hak-hak konsumen. Jika demikian pengesahannya harus ditunda.

http://bataviase.co.id/node/623531